Cerita Rakyat Sumatera Utara - Putri Bunga Melur

Cerita Rakyat Sumatera Utara - Putri Bunga Melur

Cerita Rakyat Sumatera Utara - Putri Bunga Melur

Alkisah, jauh di tengah hutan di tepi sebuah sungai hidup sepasang suami istri. Sudah bertahun-tahun lamanya mereka menikah, tetapi belum juga mempunyai seorang anak. Bilamana mereka sedang berbincang-bincang, sering kali terdengar mereka berucap,
“Kalau saja kita mempunyai seorang anak, tentu kita tidak kesepian.”
Akan tetapi, mereka tidak putus asa. Setiap hari, kedua suami istri ini terus berdoa kepada Allah mohon dikaruniai seorang anak.

Seperti biasanya setiap pagi sang istri pergi mencuci kain. Tetapi kali ini, ketika ia melewati jalan kecil yang biasa dilaluinya, tampak sekuntum bunga melur yang sedang mekar. Bunga ini terlihat indah sekali di antara semak-semak yang mengelilinginya.
Seketika terpikir olehnya, “Bila saja aku mempunyai seorang anak perempuan secantik bunga melur ini, alangkah bahagiaku.”
Kemudian perempuan itu meneruskan perjalanannya menuju tepi sungai yang dangkal airnya untuk mencuci.

Beberapa hari kemudian, ia bermimpi didatangi seorang kakek tua yang berkata kepadanya,
“Agaknya, Allah akan mengabulkan doamu. Engkau akan melahirkan seorang anak perempuan yang amat cantik. Tetapi, bila dia sudah dewasa nanti, engkau harus mengirimkan anakmu itu ke negeri seberang. Seorang putra raja akan menjadi jodohnya.”
Tidak terbilang suka cita perempuan itu, karenanya, ia berjanji akan memenuhi pesan kakek tua tersebut.

Bukan main bahagianya kedua suami istri itu ketika mimpi sang istri benar-benar terwujud. Mereka tidak kecewa walaupun anaknya amat kecil. Badannya hanya sebesar bunga melur dan wajahnya secantik bunga ini. Oleh karenanya, suami istri itu memberi nama anak perempuannya Putri Bunga Melur. Putri Bunga Melur amat dikasihi bapak dan ibunya. Ia tumbuh menjadi gadis cantik. Walaupun demikian tubuhnya tidaklah menjadi besar melebihi sekuntum bunga melur.

Pada suatu hari, Putri Bunga Melur yang sudah beranjak remaja jatuh sakit. Berbagai tabib telah mencoba mengobatinya, tetapi Putri Bunga Melur tidak kunjung sembuh juga. Teringat oleh ibunya, pesan kakek tua dalam mimpinya bertahun-tahun lalu. Sebab itu ibu Putri Bunga Melur berkata kepada suaminya,
“Pak, kita harus mengirimkan anak kita ke negeri seberang seperti yang telah kujanjikan kepada kakek tua dalam mimpiku.” Karena sudah suratan takdir, suaminya setuju saja.

Kemudian Putri Bunga Melur diantar ke tepi sungai oleh kedua orang tuanya. Ketika mereka sedang memikirkan bagaimana cara menyeberangkan Putri Bunga Melur, tiba-tiba jatuh kelopak jantung pisang ke dalam sungai. Timbullah akal Putri Bunga Melur. Lalu ia berkata kepada ibunya,
“Ibu, mengapa tidak kita jadikan saja kelopak jantung pisang ini menjadi perahu untukku berlayar ke negeri seberang?”

Segera Putri Bunga Melur dimasukkan ke dalam perahu kelopak jantung pisang bersama-sama dengan bekal yang telah disiapkan ibunya. Setelah itu, ayah dan ibu Putri Bunga Melur melepasnya berlayar sambil berpesan,
“Hati-hati di jalan, Nak, dan ingat, kalau kau bertemu dengan bunga bakung, jangan sekali-sekali kau sapa dia.”

Saat itu angin tidak bertiup. Agar dapat berlayar, maka Putri Bunga Melur bersenandung memanggil angin.

Angin Barat gelombang Barat
Antarkan hamba ke tempat tujuan
Hamba akan pergi ke negeri seberang

Tak lama kemudian angin mulai bertiup dan melajulah perahu kelopak jantung pisang membawa Putri Bunga Melur menuju ke laut lepas.

Di tengah perjalanan tiba-tiba Putri Bunga Melur melihat setangkai bunga bakung yang sedang mekar. Terpesona oleh kecantikan bunga bakung itu, ia lupa akan pesan ibunya. 
“Wahai bunga bakung, alangkah cantik wajahmu!” Sapanya. 
Seketika itu berbeloklah perahunya ke arah bunga bakung. Ketika mendekat, terdengar sebuah suara menjawab, 
“Singgahlah sebentar Putri Bunga Melur, aku ingin ikut bersamamu berlayar.”

Putri Bunga Melur terkejut melihat seorang gadis sebesar dirinya tiba-tiba muncul dari bunga bakung. Wajahnya tidak cantik dan tubuhnya tidak sempurna. Jari tangan dan kakinya terlihat besar-besar tidak serasi dengan tubuhnya yang kecil. Lagipula, Tuntung Kapur, nama anak gadis ini, tabiatnya kasar, hatinya dengki dan pemalas. Konon Tuntung Kapur sebenarnya adalah seorang Putri Raja yang kena kutuk.

Tanpa disangka-sangka, Tuntung Kapur meloncat ke dalam perahu. Lalu, dengan kasar diperintahnya Putri Bunga Melur agar cepat berangkat. Putri Bunga Melur tidak dapat menolak. Sebab itu ia menghibur diri, pikirnya, 

“Sekarang aku tidak kesepian lagi. Ada kawan yang dapat kuajak bermain-main dan bercakap-cakap. Bukankah perjalananku masih panjang?” Kemudian, Putri Bunga Melur bersenandung:

Angin Barat gelombang Barat
Antarkan hamba ke tempat tujuan
Hamba akan pergi ke negeri seberang

Setelah menempuh perjalanan yang amat jauh mengikuti alur sungai yang berkelok-kelok dan melewati jeram-jeram yang terjal, maka sampailah Putri Bunga Melur dan Tuntung Kapur ke negeri seberang. Karena kecilnya, tidak tampak jelas oleh para penduduk, perahu kelopak jantung pisang telah bersandar di pelabuhan. Mereka hanya melihat sinar yang amat terang yang sebenarnya berasal dari kecantikan dari Putri Bunga Melur.

Penduduk menjadi kacau dan seorang hulubalang segera menghadap Baginda Raja. 
“Tuanku," sabdanya, 
“Ada seberkas sinar ajaib dari pelabuhan. Hamba tidak tahu dari mana asalnya dan apa sesungguhnya sinar terang itu.” 
Raja seketika teringat akan mimpinya sebelum permaisuri melahirkan putra raja. Waktu itu raja dan permaisuri sudah lama menikah, tetapi belum dikaruniai sesorang anak.

Dalam mimpi, Baginda bertemu dengan kakek tua. Kakek tua itu berpesan, 
“Engkau akan mendapat seorang putra yang akan menjadi ahli warismu satu-satunya. Besarnya hanya seibu jari. Akan tetapi, janganlah kecewa karena suatu hari kelak, bila putramu itu sudah beranjak dewasa, dia akan mendapatkan jodohnya. Kalau tiba waktunya, akan tampak sinar terang di pelabuhan.”

Seorang Raja bergegas berangkat ke pelabuhan. Setibanya di pelabuhan, Raja melihat sebuah perahu kecil terbuat dari kelopak jantung pisang yang sedang berlabuh. Raja kemudian berkata,
“Siapa gerangan tuan-tuan Putri? Bidadari ataukah peri? Dan apa maksud tuan-tuan Putri datang berlabuh di negeri kami?”

Menjawablah Tuntung kapur, “Hamba bernama Tuntung Kapur, dan ini, dayang-dayang hamba,” katanya seraya menunjuk Putri Bunga Melur. "Hamba datang kemari dengan maksud ingin mengabdi Baginda dan Putra Baginda.” Lalu ia melanjutkan, “Hamba berharap Baginda mau menerima kami.”

Karena Baginda Raja mengira Tuntung Kapur adalah jodoh putranya, maka Raja memerintahkan para hulubalang mempersiapkan keperluan kedua gadis itu. Melihat hal ini, berkatalah Tuntung Kapur yang dengki hati itu kepada Raja, 
“Baginda, untuk dayang hamba, cukuplah ia tidur di dekat kandang kuda saja. Dia tidak perlu ikut tinggal di istana.” Putri Bunga Melur amat sedih mendengar perkataan Tuntung Kapur yang tidak tahu membalas budi. Akan tetapi ia diam saja.

Akan halnya Putra Raja, ia selalu memperhatikan tingkah laku kedua gadis itu. Kalau Tuntung Kapur menggulai, setelah kelapanya diremas, diambilnya ampasnya, tetapi dibuangnya santannya. Kalau dia menampih beras, diambilnya dedak dan padinya, tetapi dibuangnya berasnya. Kalu dia menumbuk tepung, setelah diayak, lalu diambilnya yang kasar dan tepungnya justru dibuang. Tentu saja masakan Tuntung Kapur tidak sedap dan putra raja tidak mau menyentuhnya.

Pada suatu hari putra raja berjalan melewati Putri Bunga Melur tinggal. Putra raja datang bersinggah dan Putri Bunga Melur menjamunya dengan hidangan yang dipersiapkannya sendiri. Sejak itu putra raja sering-sering singgah karena makanan yang dihidangkan Putri Bunga Melur amat lezat rasanya. Sebenarnya, putra raja ingin Putri Bunga Melur yang akan menjadi Istrinya. Akan tetapi ia tidak berani membantah titah ayahandanya yang telah menjodohkannya dengan Tuntung Kapur.

Pada suatu ketika Raja dan putra mahkota ingin berpisah menelusuri sungai, maka persiapkanlah sebuah perahu besar. Pada umumnya Tuntung Kapur tidak mengizinkan Putri Bunga Melur ikut berpesiar. Karena putra raja bersikeras, maka berkatalah Tuntung Kapur, 
“Baiklah, tetapi si Melur harus berlayar sendiri. Aku tidak sudi berlayar bersamanya.” 
Oleh karena itu, dipersiapkanlah sebuah perahu kelopak jantung pisang untuk Putri Bunga Melur.

Tiba saatnya rombongan raja berpesiar. Terlihat sebuah kapal besar bernama Palang Tembaga diiringi sebuah perahu kecil terbuat dari kelopak jantung pisang. Ketika mereka melewati sebuah hutan di pinggir sungai, keluarlah bermacam-macam serangga, tukus hutan, ular, kupu-kupu, burung dan binatang-binatang lain penghuni hutan.

Para penghuni hutan segera bernyanyi beramai-ramai. Beginilah nyanyian mereka :

Dalam sampan Pelang Tembaga
Berlayar Tuntung Kapur
Dalam sampan kelopak jantung
Berlayar Putri Bunga Melur
Dalam sampan Pelang Tembaga
Entah siapa dia
Dalam sampan kelopak jantung
Dialah tunangan putra raja

Mendengar nyanyian tersebut, putra raja cepat menyimak. Lalu ia berkata,
“Ayahanda, coba dengar nyanyian binatang-binatang itu.”

Segera Tuntung Kapur menjawab, 
“Jangan pedulikan nyanyian itu, Baginda. Nyanyian binatang tidak dapt dipercaya dan tidak masuk akal.”

Akan tetapi, karena para penghuni hutan terus saja mengulang-ngulang nyanyiannya, maka timbullah syak wasangka baginda raja dan putra mahkota.

Sepulang pesiar, baginda menanyakan hal ikhwal yang sebenarnya. Akan tetapi Tuntung Kapur tidak mau mengakui perbuatannya. Lalu dipanggillah Putri Bunga Melur datang menghadap. Putri Bunga Melur kemudian menceritakan sekuruh kisahnya. Baginda Raja pun menjadi sangat murka karena telah ditipu oleh Tuntung Kapur.

Oleh karena itu, Baginda Raja memutuskan Tuntung Kapur harus dijatuhi hukuman. Ia dimasukkan ke dalam perahu kelopak jantung pisang dan diusir meninggalkan negeri seberang. Karena Tuntung Kapur tidak pandai memanggil angin, perahunya berlayar tak tentu arah. Sejak itu tidak ada yang tahu bagaimana jadinya nasib si Tuntung Kapur.

Sementara itu, Putri Bunga Melur dibawa pulang ke istana. Segera Baginda Raja menitahkan rakyatnya untuk menyiapkan pesta perkawinan putra raja dengan Putri Bunga Melur. Empat puluh hari empat puluh malam lamanya pesta megah berlangsung, penuh suka cita dan kegembiraan. Ayah dan ibu Putri Bunga Melur amat berbahagia mendengar nasib anaknya. 

# Cerita Rakyat Sumatera Utara - Putri Bunga Melur

Comments

Post a Comment