Selain memiliki sejuta pesona Alam,- Papua juga memiliki segudang cerita, cerita daerah yang mewarnai sastra nusantara, dibawah ini ada beberapa cerita daerah papua, diantaranya Asal Usul nama Irian, Biwar Sang Penakluk Naga, dan Asal Usul Burung Cendrawasih
Dahulu kala, di Kampung Sopen, Biak Barat tinggal sebuah
keluarga yang memiliki beberapa anak laki-laki. Salah satu anak tersebut
bernama Mananamakrdi.
Ia sangat dibenci oleh saudara-saudaranya karena seluruh
tubuhnya dipenuhi kudis, sehingga siapa pun tak tahan dengan baunya. Maka,
saudara-saudaranya selalu meminta Mananamakrdi tidur di luar rumah. Jika
Mananamakrdi melawan, tak segan-segan saudara-saudaranya akan menendangnya
keluar hingga ia merasa kesakitan.
Suatu hari, saudara-saudaranya sudah tak tahan dengan bau
kudis itu. Maka, Mananamakrdi diusir dari rumah. Dengan langkah gontai,
Mananamakrdi berjalan ke arah timur. Sesampai di pantai, diambilnya satu perahu
yang tertambat. Diarunginya laut luas hingga ia menemukan sebuah daratan yang
tak lain adalah Pulau Miokbudi di Biak Timur.
Ia membuat gubuk kecil di dalam hutan. Setiap hari ia pergi
memangkur sagu untuk mencukupi kebutuhan makannya. Selain itu, ia juga membuat
tuak dari bunga kelapa. Kebetulan di hutan itu terdapat beberapa pohon kelapa
yang dapat disadapnya.
Setiap sore, ia memanjat kelapa, kemudian memotong
manggarnya. Di bawah potongan itu diletakkan ruas bambu yang diikat. Hari
berikutnya, ia tinggal mengambil air nira itu kemudian dibuat tuak.
Suatu siang, ia amat terkejut, nira di dalam tabungnya telah
habis tak bersisa. Mananamakrdi sangat kesal. Malam itu ia duduk di pelepah
daun kelapa untuk menangkap pencurinya. Hingga larut malam pencuri itu belum
datang. Menjelang pagi, dari atas langit terlihat sebuah makhluk memancar
sangat terang mendekati pohon kelapa tempat Mananamakrdi bersembunyi. Makhluk
itu kemudian meminum seluruh nira. Saat ia hendak lari, Mananamakrdi berhasil
menangkapnya. Makhluk itu meronta-ronta.
“Siapa kamu?” tanya Mananamakrdi.
“Aku Sampan, si bintang pagi yang menjelang siang. Tolong
lepaskan aku, matahari hampir menyingsing,” katanya memohon.
“Sembuhkan dulu kudisku, dan beri aku seorang istri cantik,”
pinta Mananamakrdi.
“Sabarlah, di pantai dekat hutan ini tumbuh pohon bitanggur.
Jika gadis yang kamu inginkan sedang mandi di pantai, panjatlah pohon bitanggur
itu, kemudian lemparkan satu buahnya ke tengah laut. Kelak gadis itu akan
menjadi istrimu,” kata Sampan. Mananamakrdi kemudian melepaskan Sampan.
Sejak itu setiap sore Mananamakrdi duduk di bawah pohon
bitanggur memperhatikan gadis-gadis yang mandi. Suatu sore, dilihatnya seorang
gadis cantik mandi seorang diri. Gadis itu tak lain adalah Insoraki, putri
kepala suku dari Kampung Meokbundi. Segera dipanjatnya pohon bitanggur.
Kulitnya terasa sakit bergesekan dengan pohon bitanggur yang kasar itu.
Diambilnya satu buah bitanggur, dan dilemparnya ke laut.
Bitanggur itu terbawa riak air dan mengenai tubuh Insoraki
hingga ia merasa terganggu. Dilemparnya buah itu ke tengah laut. Namun, buah
itu kembali terbawa air dan mengenai Insoraki. Kejadian itu berlangsung
berulang-ulang hingga Insoraki merasa jengkel. Ia kemudian pulang.
Beberapa hari kemudian, Insoraki hamil. Kejadian aneh di
pantai ia ceritakan kepada orangtuanya. Tentu saja orangtuanya tak percaya.
Beberapa bulan kemudian, Insoraki melahirkan seorang bayi laki-laki. Saat
lahir, bayi itu tak menangis, namun tertawa-tawa. Beberapa waktu kemudian, diadakan
pesta pemberian nama. Anak itu diberi nama Konori.
Mananamakrdi hadir dalam pesta itu. Saat pesta tarian
berlangsung, tiba-tiba Konori berlari dan menggelendot di kaki Mananamakrdi.
“Ayaaah ...,” teriaknya. Orang-orang terkejut. Pesta tarian
kemudian terhenti.
Akhirnya, Isoraki dan Mananamakrdi dinikahkan. Namun, kepala
suku dan penduduk kampung merasa jijik dengan Mananamakrdi. Mereka pun
meninggalkan kampung dengan membawa semua ternak dan tanamannya. Jadilah
kampung itu sepi. Hanya Mananamakrdi, Insoraki, dan Konori yang tinggal. Suatu
hari, Mananamakrdi mengumpulkan kayu kering, kemudian membakarnya. Insoraki dan
Konori heran. Belum hilang rasa heran itu, tiba-tiba Mananamakrdi melompat ke
dalam api. Spontan, Insoraki dan Konori menjerit. Namun ajaib, tak lama
kemudian Mananamakrdi keluar dari api itu dengan tubuh yang bersih tanpa kudis.
Wajahnya sangat tampan. Anak dan istrinya pun gembira. Mananamakrdi kemudian
menyebut dirinya Masren Koreri yang berarti pria yang suci.
Beberapa lama kemudian, Mananamakrdi mengheningkan cipta,
maka terbentuklah sebuah perahu layar. Ia kemudian mengajak istri dan anaknya
berlayar sampai di Mandori, dekat Manokwari.
Pagi-pagi buta, anaknya bermain pasir di pantai. Dilihatnya
tanah berbukit-bukit yang amat luas. Semakin lama, kabut tersibak oleh sinar
pagi. Tampak pegunungan yang amat cantik. Tak lama kemudian matahari bersinar
terang, udara menjadi panas, dan kabut pun lenyap.
“Ayah ... Irian. Iriaaan,” teriak Konori. Dalam bahasa Biak , irian berarti panas.
“Hai, Anakku, jangan memekik begitu. Ini tanah nenek
moyangmu,” kata Mananamakrdi.
“Iya, Ayah. Maksud Konori, panas matahari telah menghapus
kabut pagi, pemandangan di sini indah sekali,” kata Konori.
Konon, sejak saat itu wilayah tersebut disebut dengan nama
Irian. Air laut yang membiru, pasirnya yang bersih, bukit-bukit yang menghijau,
dan burung cendrawasih yang anggun dan molek membuat Irian begitu indah.
Alkisah, di daerah Mimika, Papua, terdapat sebuah kampung
yang dihuni oleh sekelompok suku Mimika. Mata pencaharian penduduk tersebut
adalah memangkur sagu yang telah diwarisi secara turun-temurun dari nenek
moyang mereka. Setiap hari, baik kaum laki-laki maupun perempuan, memangkur
sagu di sepanjang aliran sungai di daerah itu.
Suatu hari, beberapa orang dari penduduk kampung tersebut
hendak mencari sagu dengan menggunakan perahu. Selain membawa alat berupa kapak
dan pangkur,[1] mereka juga membawa bekal berupa makanan dan minuman karena
kegiatan memangkur sagu tersebut memerlukan waktu sekitar dua sampai tiga hari.
Setelah beberapa lama melayari sungai, tibalah mereka di
suatu tempat yang banyak ditumbuhi pohon sagu. Dengan penuh semangat, kaum
laki-laki mulai menebang pohon sagu yang sudah bisa diambil sari patinya.
Setelah rebah, pohon sagu itu mereka kuliti untuk mendapatkan hati sagu yang
berada di dalamnya. Kemudian hati dari pohon itu mereka tumbuk hingga
menyerupai ampas kelapa dengan menggunakan pangkur. Hasil tumbukan itulah yang
disebut dengan sagu. Selanjutnya, sagu tersebut mereka kumpulkan pada sebuah
wadah bambu yang sudah dibelah, lalu mencampurinya dengan air.
Setelah itu, kaum perempuan segera memeras sagu itu. Air
perasan inilah yang mengandung sari pati sagu. Untuk mendapatkan sari pati
tersebut, air perasan mereka biarkan beberapa saat hingga sari patinya
mengendap di dasar wadah bambu. Setelah air perasan berubah dari warna putih
menjadi jernih, air yang jernih tersebut mereka buang hingga yang tersisa
hanyalah endapan inti sagu. Inti sagu itu kemudian mereka bentuk seperti bola
tenis atau memanjang seperti lontong. Selanjutnya, sagu-sagu yang sudah siap
dimasak tersebut mereka masukkan ke dalam wadah yang disebut dengan tumang,
yaitu keranjang yang terbuat dari rotan.
Setelah menaikkan semua tumang yang berisi sagu tersebut ke
atas perahu, rombongan itu pun berlayar menyusuri sungai untuk kembali ke
perkampungan. Saat perahu yang mereka tumpangi melewati sungai di daerah
Tamanapia, tiba-tiba seeokar naga muncul dari dalam air dan langsung menyerang
mereka. Hanya sekali kibas, ekor naga itu mampu menghancurkan perahu itu hingga
berkeping-keping. Tak ayal, seluruh penumpangnya terlempar dan tenggelam di
sungai, kecuali seorang perempuan yang sedang hamil dapat menyelamatkan diri.
Kebetulan perempuan hamil mampu meraih salah satu kepingan
perahu yang telah hancur saat ia terlempar ke sungai. Kepingan perahu itulah
kemudian ia jadikan sebagai pelampung hingga dapat sampai ke tepi sungai dan
melarikan diri masuk dalam hutan. Untuk berlindung dari binatang buas,
perempuan hamil itu tinggal di dalam sebuah gua yang ia temukan dalam hutan
tersebut. Dalam keadaan hamil tua, perempuan yang malang itu berusaha mencari daun-daun muda
dan umbi-umbian untuk bisa bertahan hidup.
Suatu hari, dengan susah payah perempuan itu berjuang
melahirkan seorang diri. Atas kuasa Tuhan, ia berhasil melahirkan seorang bayi
laki-laki yang tampan dan diberinya nama Biwar. Kini, perempuan itu tidak lagi
kesepian tinggal di tengah hutan tersebut. Ia pun merawat dan membesarkan Biwar
dengan penuh kasih sayang. Saat Biwar tumbuh menjadi remaja, ia mengajarinya
berbagai ilmu seperti cara memanah, menangkap binatang, dan membuat api. Selain
itu, ia juga mengajari Biwar bermain tifa[2] hingga mahir memainkan alat musik
tersebut.
Beberapa tahun kemudian, Biwar telah tumbuh menjadi pemuda
yang tampan, kuat, dan gagah perkasa. Setiap hari ia membantu ibunya mencari
lauk dengan cara memancing ikan di sungai. Ia juga membantu ibunya membuat
sebuah rumah sederhana yang disebut dengan honai, yaitu rumah adat masyarakat
Papua yang terbuat dari kayu dengan atap berbentuk kerucut dari jerami atau
ilalang.
Suatu hari, Biwar baru saja pulang dari memancing di sungai
dengan membawa beberapa ekor ikan besar. Setiba di depan rumahnya, ia
meletakkan ikan hasil tangkapannya itu di tanah seraya berteriak memanggil
ibunya.
“Mama[3]..., Mama..., keluarlah lihat! Biwar membawa ikan
yang besar-besar,” teriak Biwar.
Mendengar teriakan itu, ibunya pun keluar dari dalam rumah
seraya bertanya, “Dari mana kamu dapatkan ikan itu, Anakku?”
“Tadi Biwar memancingnya di sebuah sungai yang dalam. Sungai
itu banyak sekali ikannya dan pemandangan di sekitarnya amat indah,” ungkap
Biwar, “Jika Mama ingin melihatnya, besok Biwar akan tunjukkan tempat itu.”
Sang ibu menerima ajakan Biwar. Keesokan hari, berangkatlah
mereka ke sungai yang dimaksud. Alangkah terkejutnya ibu Biwar saat tiba di
sungai itu. Ia langsung teringat kepada almarhum suaminya.
“Biwar, Anakku! Ketahuilah, ayahmu beserta keluarga dan
teman-taman Mama tewas di sungai itu karena diserang oleh seekor naga!” ungkap
sang ibu mengenang masa lalunya yang amat memilukan hati.
Mendengar kisah sedih ibunya, Biwar bertekad untuk
membinasakan naga itu. Namun, sang ibu mencegahnya.
“Tapi, Biwar! Naga itu sangat ganas,” cegah ibunya.
“Tidak Mama. Bukankah Mama telah mengajarkan Biwar berbagai
ilmu? Dengan ilmu itulah Biwar akan membinasakan naga yang menghilangkan nyawa
Papa,” tegas Biwar.
Sang ibu tidak mampu membendung tekad keras Biwar. Sebelum
melaksanakan tekadnya, Biwar bersama ibunya pulang ke rumah untuk menyiapkan
semua senjata yang diperlukan. Setelah menyiapkan tombak, golok, dan panahnya,
Biwar pun berpamitan kepada ibunya untuk pergi mencari sarang naga itu di
sekitar sungai.
“Hati-hati, anakku!” ujar mama-nya.
“Baik, Mama,” jawab Biwar seraya meninggalkan ibunya.
Setiba di tepi sungai, Biwar melihat sebuah gua yang diduga
sebagai tempat persembunyian naga itu.
“Aku yakin naga itu pasti bersembunyi di dalam gua ini,”
gumam Biwar.
Dengan langkah perlahan-lahan, Biwar mendekati gua itu.
Sesampai di depan mulut gua, ia segera mengambil tifa yang diselipkan di
pinggangnya lalu meniupnya untuk memancing naga itu agar keluar dari dalam gua.
Alunan musik tifa yang dimainkan Biwar benar-benar menarik perhatian sang naga.
Tak berapa lama kemudian, terdengarlah suara gemuruh dari dalam gua.
Mendengar suara itu, maka semakin yakinlah Biwar bahwa di
dalam gua itulah sang naga bersarang. Ia pun segera bersiap-siap dengan golok
di genggamannya untuk berjaga-jaga kalau-kalau naga itu datang menyerangnya.
Ternyata benar, tak lama berselang, kepala naga itu tiba-tiba muncul di mulut
gua. Tanpa berpikir panjang, Biwar segera melemparkan tombaknya ke arah kepala
naga itu dan berhasil melukainya. Meskipun terluka parah, naga itu masih
terlihat ganas. Maka sebelum naga itu menyerangnya, Biwar segera mencabut golok
yang terselip di pinggangnya.
“Terimalah pembalasan dari ayah dan keluargaku yang telah
kau binasakan di sungai ini!” seru Biwar seraya memenggal kepala naga itu
hingga nyaris putus.
Tak ayal, naga itu jatuh terkulai di depan mulut gua.
Melihat hal itu, cepat-cepat Biwar menimbun tubuh naga itu dengan bebatuan.
Setelah memastikan naga itu benar-benar telah mati, ia pun segera pulang ke
rumahnya untuk memberitahukan keberhasilannya membinasakan naga itu kepada
ibunya. Betapa senangnya hati sang ibu mendengar berita gembira tersebut.
“Naga telah menerima hukumannya. Kini hati Mama sudah lega,”
ucap ibunya, “Segeralah buat perahu anakku lalu kita kembali ke perkampungan!”
Keesokan harinya, Biwar pun membuat sebuah perahu kecil yang
cukup ditumpangi mereka berdua. Dalam beberapa hari, perahu itu pun selesai
dibuatnya dan siap untuk digunakan. Akhirnya, dengan perahu itu, Biwar bersama
ibunya berlayar mengarungi sungai menuju ke tanah kelahiran ibunya. Setiba di
perkampungan, mereka pun disambut dengan gembira oleh penduduk setempat. Untuk
merayakan keberhasilan Biwar sebagai pahlawan yang telah menaklukkan naga itu,
mereka mengadakan pesta yang meriah.
* * *
Demikian cerita Biwar Sang Penakluk Naga dari daerah Mimiki,
Provinsi Papua. Sedikitnya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita
di atas yaitu keutamaan sifat sabar dan pemberani. Sifat sabar ditunjukkan oleh
ditunjukkan oleh perilaku ibu Biwar yang senantiasa berjuang melahirkan dan
membesarkan Biwar seorang diri di tengah hutan. Berkat kesabarannya, ia
berhasil mendidik Biwar menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa. Sementara
itu, sifat pemberani ditunjukkan oleh keberanian Biwar menghadapi seekor naga
yang ganas. Dengan keberanian yang dimiliki, ia berhasil membinasakan naga itu.
[1] Pangkur adalah alat untuk memangkur sagu yang bentuknya
mirip cangkul. Hanya saja, bentuk pada bagian ujungnya seperti tombak, lancip,
dan lebih kecil.
[2] Tifa adalah alat musik tradisional masyarakat Papua yang
bentuknya menyerupai gendang dan dimainkan dengan cara dipukul.
[3] Mama artinya Ibu.
Di daerah Fak-fak tepatnya, pegunungan Bumberi hiduplah
seorang perempuan tua bersama seekor anjing betina. Perempuan tua bersama
anjing itu mendapatkan makanan dari hutan berupa buah-buahan dan kuskus. Hutan
adalah ibu mereka yang menyediakan makanan untuk hidup. Mereka berdua hidup
bebas dan bahagia di alam.
Suatu ketika, seperti biasanya mereka berdua ke hutan untuk
mencari makan. Perjalanan yang cukup memakan waktu belum juga mendapatkan
makanan. Anjing itu merasa lelah karena kehabisan tenaga. Pada keadaan yang
demikian tibalah mereka berdua pada suatu tempat yang ditumbuhi pohon pandan
yang penuh dengan buah. Perempuan tua itu serta merta memungut buah itu dan
menyuguhkannya kepada anjing betina yang sedang kelaparan. Dengan senang hati,
anjing betina itu melahap suguhan segar itu. Anjing betina itu merasa segar dan
kenyang.
Namun, anjing itu mulai merasakan hal-hal aneh di perutnya.
Perut anjing itu mulai membesar. Perempuan tua itu memastikan bahwa, ternyata
sahabatnya (anjing betina) itu hamil. Tidak lama kemudian lahirlah seekor anak
anjing. Melihat keanehan itu, si perempuan tua itu segera memungut buah pandan
untuk dimakannya, lalu mengalami hal yang sama dengan yang dialami oleh
sahabatnya. Perempuan tua itu melahirkan seorang anak laki-laki. Keduanya lalu
memelihara mereka masing-masing dengan penuh kasih sayang. Anak laki-laki
diberi nama: Kweiya.
Setelah Kweiya menjadi besar dan dewasa, dia mulai membuka
hutan dan membuat kebun untuk menanam makanan dan sayuran. Alat yang dipakai
untuk menebang pohon hanyalah sebuah pahat (bentuk kapak batu). Karenannya,
Kweiya hanya dapat menebang satu pohon setiap harinya. Ibunya ikut membantu
dengan membakar daun-daun dari pohon yang telah rebah untuk membersihkan tempat
itu sehingga asap tebal mengepul ke langit. Setiap kali, hutan lebat itu
dihiasi dengan kepulan asap tebal yang membumbung tinggi. Keduanya tidak
menyadari bahwa mereka telah menarik perhatian orang dengan mengadakan kepulan
asap itu.
Konon ada seorang pria tua yang sedang mengail di tengah
laut terpaku melihat suatu tiang asap yang mengepul tinggi ke langit
seolah-olah menghubungi hutan belantara dengan langit. Dia tertegun memikirkan
bagaimana dan siapakah gerangan pembuat asap misterius itu. Karena perasaan
ingin tahu mendorongnya untuk pergi mencari tempat di mana asap itu terjadi.
Lalu ia pun segera menyiapkan diri dengan bekal secukupnya dan dengan
bersenjatakan sebuah kapak besi, ia pun segera berangkat. Pria itu berangkat
bersama seekor kuskus yang dipeliharanya sejak lama. Perjalanannya ternyata
cukup memakan waktu. Setelah seminggu berjalan kaki, akhirnya ia mencapai
tempat di mana asap itu terjadi.
Setibannya di tempat itu, ternyata yang ditemui adalah
seorang pria tampan membanting tulang menebang pohon di bawah terik panas matahari
dengan menggunakan sebuah kapak batu berbentuk pahat. Melihat itu, ia
menghampiri lalu memberi salam: “weing weinggiha pohi” (artinya selamat siang)
sambil memberikan kapak besi kepada Kweiya untuk menebang pohon-pohon di hutan
rimba itu. Sejak itu pohon-pohonpun berjatuhan bertubi-tubi. Ibu Kweiya yang
beristerahat di pondoknya menjadi heran. Ia menanyakan hal itu kepada Kweiya,
dengan alat apa ia menebang pohon itu sehingga dapat rebah dengan begitu cepat.
Kweiya nampaknya ingin merahasiakan tamu baru yang datang
itu. Kemudian ia menjawab bahwa kebetulan pada hari itu satu tangannya terlalu
ringan untuk dapat menebang begitu banyak pohon dalam waktu yang sangat
singkat. Ibunya yang belum sempat melihat pria itu percaya bahwa apa yang
diceritakan oleh anaknya Kweiya memang benar. Dan karena Kweiya minta disiapkan
makanan, ibunya segera menyiapkan makanan sebanyak mungkin. Setelah makanan
siap dipanggilnya Kweiya untuk pulang makan. Kweiya bermaksud mengajak pria
tadi untuk ikut makan ke rumah mereka dengan maksud memperkenalkannya kepada
ibunya sehingga dapat diterima sebagai teman hidupnya.
Dalam perjalanan menuju rumah Kweiya memotong sejumlah tebu
yang lengkap dengan daunnya untuk membungkus pria tua itu. Lalu setibanya di
dekat rumah, Kweiya meletakkan, “bungkusan tebu” itu di luar rumah. Sewaktu ada
dalam rumah Kweiya berbuat seolah-olah haus dan memohon kepada ibunya untuk
mengambilkan sebatang tebu untuk di makannya sebagai penawar dahaga. Ibunya
memenuhi permintaan anaknya lalu keluar hendak mengambil sebatang tebu. Tetapi
ketika ibunya membuka bungkusaan tebu tadi, terkejutlah ia karena melihat
seorang pria yang berada di dalam bungkusan itu. Serta-merta ibunya menjerit
ketakutan, tetapi Kweiya berusaha menenangkannya sambil menjelaskan bahwa dialah
yang mengakali ibunya dengan cara itu. Harapan agar ibunya mau menerima pria
tersebut sebagai teman hidupnya, karena pria itu telah berbuat baik terhadap
mereka. Ia telah memberikan sebuah kapak yang sangat berguna dalam hidup mereka
nanti. Sang ibu serta merta menerima baik pikiran anaknya itu dan sejak itu
mereka bertiga tinggal bersama-sama.
Setelah beberapa waktu lahirlah beberapa anak di
tengah-tengah keluarga kecil tadi, dan kedua orang tua itu menganggap Kweiya
sebagai anak sulung mereka. Sedang anak-anak yang lahir kemudian dianggap
sebagai adik-adik kandung dari Kweiya. Namun dalam perkembangan selanjutnya
dari hari ke hari hubungan persaudaraan antara mereka semakin memburuk karena
adik-adik tiri dari Kweiya merasa iri terhadap Kweiya.
Pada suatu hari, sewaktu orang tua mereka sedang mencari
ikan, kedua adiknya bersepakat mengeroyok Kweiya serta mengiris tubuhnya
sehingga luka-luka. Karena merasa kesal atas tindakan kedua adiknya itu, Kweiya
menyembunyikan diri di salah satu sudut rumah sambil meminta tali dari kulit
pohon “Pogak nggein” (genemo) sebanyak mungkin. Sewaktu kedua orang tua mereka
pulang ditanyakan di mana Kweiya tetapi kedua adik tirinya tidak berani
menceritakan di mana Kweiya berada. Lalu adik bungsu mereka, yaitu seorang anak
perempuan yang sempat menyaksikan peristiwa perkelahian itu menceritakannya
kepada kedua orang tua mereka. Mendengar cerita itu si ibu tua merasa ibah
terhadap anak kandungnya. Ia berusaha memanggil-manggil Kweiya agar datang.
Tetapi yang datang bukannya Kweiya melainkan suara yang berbunyi: “Eek..ek, ek,
ek, ek!” sambil menyahut, Kweiya menyisipkan benang pintalannya pada kakinya
lalu meloncat-loncak di atas bubungan rumah dan seterusnya berpindah ke atas
salah satu dahan pohon di dekat rumah mereka.
Ibunya yang melihat keadaan itu lalu menangis tersedu-sedu
sambil bertanya-tanya apakah ada bagian untuknya. Kweiya yang telah berubah
diri menjadi burung ajaib itu menyahut bahwa, bagian untuk ibunya ada dan
disisipkan pada koba-koba (payung tikar) yang terletak di sudut rumah. Ibu tua
itu lalu segera mencari koba-koba kemudian benang pintalan itu disisipkan pada
ketiaknya lalu menyusul anaknya Kweiya ke atas dahan sebuah pohon yang tinggi
di hutan rumah mereka. Keduanya bertengger di atas pohon sambil berkicau dengan
suara: wong, wong, wong, wong, ko,ko, ko, wo-wik!!
Dan sejak saat itulah burung cenderawasih muncul di
permukaan bumi di mana terdapat perbedaan antara burung cenderawsih jantan dan
betina. Burung cenderawasih yang buluhnya panjang di sebut siangga sedangkan
burung cenderawasih betina disebut: hanggam tombor yang berarti perempuan atau
betina. Keduanya dalam bahasa Iha di daerah Onin, Fak-fak.
Adik-adik Kweiya yang menyaksikan peristiwa ajaib itu meresa
menyesal lalu saling menuduh siapa yang salah sehingga ditinggalkan ibu dan
kakak mereka. Akhirnya mereka saling melempari satu sama lain dengan abu tungku
perapian sehingga wajah mereka ada yang menjadi kelabu hitam, ada yang abu-abu
dan ada juga yang merah-merah, lalu mereka pun berubah menjadi burung-burung.
Mereka terbang meninggalkan rumah mereka menuju ke hutan rimba dengan warnanya
masing-masing. Sejak itu hutan dipenuhi oleh aneka burung yang umumnya kurang
menarik di bandingkan cenderawasih.
Ayah mereka memanggil Kweiya dan istrinya dan menyuruh
mengganti warna buluh, namun mereka tidak mau. Ayah mereka khawatir buluh yang
indah itu justru mendatangkan mala petaka bagi mereka. Dia berpikir suatu
ketika orang akan memburuh mereka termasuk ketiga anaknya yang lain. Ayah
merasa kecewa kerena mereka tidak mengindahkan permintaan mereka untuk berubah
buluh. Kini Ayahnya kesepian dan sedih, ia melipat kedua kaki lalu,
menjemburkan dirinya ke dalam laut dan menjadi penguasa laut “Katdundur”.
cerita daerah ini perlu di wariskan demi anak cucu kita, tanks buat up datenya
ReplyDeletei love your writing skill, keep it up
ReplyDelete