Kumpulan cerita daerah Maluku






Di belahan bumi Halmahera Utara tepatnya di wilayah Galela dusun Lisawa, di tengah ketenangan hidup dan jumlah penduduk yang masih jarang (hanya terdiri dari beberapa rumah atau dadaru), penduduk Lisawa tersentak gempar dengan ditemukannya air yang tiba-tiba keluar dari antara bebatuan hasil pembekuan lahar panas. Air yang tergenang itu kemudian membentuk sebuah telaga.

Airnya bening kebiruan dan berada di bawah rimbunnya pohon beringin. Kejadian ini membuat bingung penduduk. Mereka bertanya-tanya dari manakah asal air itu? Apakah ini berkat ataukah pertanda bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Apa gerangan yang membuat fenomena ini terjadi?
Berita tentang terbentuknya telaga pun tersiar dengan cepat. Apalagi di daerah itu tergolong sulit air. Berbagai cara dilakukan untuk mengungkap rasa penasaran penduduk. Upacara adat digelar untuk menguak misteri timbulnya telaga kecil itu. Penelusuran lewat ritual adat berupa pemanggilan terhadap roh-roh leluhur sampai kepada penyembahan Jou Giki Moi atau Jou maduhutu (Allah yang Esa atau Allah Sang Pencipta) pun dilakukan.

Acara ritual adat menghasilkan jawaban “Timbul dari Sininga irogi de itepi Sidago kongo dalulu de i uhi imadadi ake majobubu” (Timbul dari akibat patah hati yang remuk-redam, meneteskan air mata, mengalir dan mengalir menjadi sumber mata air).

Dolodolo (kentongan) pun dibunyikan sebagai isyarat agar semua penduduk dusun Lisawa berkumpul. Mereka bergegas untuk datang dan mendengarkan hasil temuan yang akan disampaikan oleh sang Tetua adat. Suasana pun berubah menjadi hening. Hanya bunyi desiran angin dan desahan nafas penduduk yang terdengar.

Tetua adat dengan penuh wibawa bertanya “Di antara kalian siapa yang tidak hadir namun juga tidak berada di rumah”. Para penduduk mulai saling memandang. Masing-masing sibuk menghitung jumlah anggota keluarganya. Dari jumlah yang tidak banyak itu mudah diketahui bahwa ada dua keluarga yang kehilangan anggotanya. Karena enggan menyebutkan nama kedua anak itu, mereka hanya menyapa dengan panggilan umum orang Galela yakni Majojaru (nona) dan Magohiduuru (nyong). Sepintas kemudian, mereka bercerita perihal kedua anak itu.

Majojaru sudah dua hari pergi dari rumah dan belum juga pulang. Sanak saudara dan sahabat sudah dihubungi namun belum juga ada kabar beritanya. Dapat dikatakan bahwa kepergian Majojaru masih misteri. Kabar dari orang tua Magohiduuru mengatakan bahwa anak mereka sudah enam bulan pergi merantau ke negeri orang namun belum juga ada berita kapan akan kembali.

Majojaru dan Magohiduuru adalah sepasang kekasih. Di saat Magohiduuru pamit untuk pergi merantau, keduanya sudah berjanji untuk tetap sehidup-semati. Sejatinya, walau musim berganti, bulan dan tahun berlalu tapi hubungan dan cinta kasih mereka akan sekali untuk selamanya. Jika tidak lebih baik mati dari pada hidup menanggung dusta.

Enam bulan sejak kepergian Magohiduuru, Majojaru tetap setia menanti. Namun, badai rupanya menghempaskan bahtera cinta yang tengah berlabuh di pantai yang tak bertepi itu.

Kabar tentang Magohiduuru akhirnya terdengar di dusun Lisawa. Bagaikan tersambar petir disiang bolong Majojaru terhempas dan jatuh terjerembab. Dirinya seolah tak percaya ketika mendengar bahwa Magohiduuru so balaeng deng nona laeng. Janji untuk sehidup-semati seolah menjadi bumerang kematian.

Dalam keadaan yang sangat tidak bergairah Majojaru mencoba mencari tempat berteduh sembari menenangkan hatinya. Ia pun duduk berteduh di bawah pohon Beringin sambil meratapi kisah cintanya.

Air mata yang tak terbendung bagaikan tanggul dan bendungan yang terlepas, airnya terus mengalir hingga menguak, tergenang dan menenggelamkan bebatuan tajam yang ada di bawah pohon beringin itu. Majojaru akhirnya tenggelam oleh air matanya sendiri.

Telaga kecil pun terbentuk. Airnya sebening air mata dan warnanya sebiru pupil mata nona endo Lisawa. Penduduk dusun Lisawa pun berkabung. Mereka berjanji akan menjaga dan memelihara telaga yang mereka namakan Telaga Biru.

Telaga biru kala itu selalu tampak bersih. Airnya sejernih kristal berwarna kebiruan. Setiap dedaunan yang jatuh di atasnya tidak akan tenggelam karena seolah terhisap untuk dibersihkan oleh bebatuan yang ada di tepian telaga.
Sampai saat ini mitos asal-mula telaga Biru masih terus terjaga di masyarakat. Pasangan muda-mudi dari Galela dan Tobelo ada yang datang ke telaga ini untuk saling mengikat janji. Sebagai tanda ikatan mereka akan mengambil air dengan daun Cingacinga dan lalu meminumnya bersama. Air yang masih tersisa biasanya akan dipakai untuk membasuh kaki dan wajah. Maknanya adalah supaya jangan ada lagi air mata yang mengalir dari setiap ikatan janji dan hubungan.

Penduduk dusun Lisawa mula-mula kini telah tiada dan hanya menyisakan telaga Biru. Sayang kondisi telaga Biru saat ini kian merana akibat ditebangnya pepohonan di sekitar telaga. Hal ini semakin diperparah dengan hilangnya bebatuan di sekitar telaga yang telah berganti dengan tanggul beton. Masyarakat sekitar juga memanfaatkan telaga ini sebagai tempat MCK sehingga banyak sampah plastik yang kini sangat merusak pemandangan. Belum lagi batang-batang pohon yang sengaja ditebang tidak pernah diangkat tetapi dibiarkan membusuk didalam air telaga.

Telaga Biru kini kembali menangis dan bertanya adakah orang yang dapat bertahan jika di dalam matanya kemasukan butiran pasir atau terkena pedihnya air sabun. Jika masih ada maka jangan wariskan derita ini pada anak cucumu. Ingat dan camkan bahwa negeri ini adalah pinjaman dari anak cucu kita!


Pada jaman dahulu di sebuah hutan di kepulauan Aru, hiduplah sekelompok rusa. Mereka sangat bangga akan kemampuan larinya. Pekerjaan mereka selain merumput, adalah menantang binatang lainnya untuk adu lari. Apabila mereka itu dapat mengalahkannya, rusa itu akan mengambil tempat tinggal mereka.

Ditepian hutan tersebut terdapatlah sebuah pantai yang sangat indah. Disana hiduplah siput laut yang bernama Kulomang. Siput laut terkenal sebagai binatang yang cerdik dan sangat setia kawan. Pada suatu hari, si Rusa mendatangi si Kulomang. Ditantangnya siput laut itu untuk adu lari hingga sampai di tanjung ke sebelas. Taruhannya adalah pantai tempat tinggal sang siput laut.

Dalam hatinya si Rusa itu merasa yakin akan dapat mengalahkan si Kulomang. Bukan saja jalannya sangat lambat, si Kulomang juga memanggul cangkang. Cangkang itu biasanya lebih besar dari badannya. Ukuran yang demikian itu disebabkan oleh karena cangkang itu adalah rumah dari siput laut. Rumah itu berguna untuk menahan agar tidak hanyut di waktu air pasang. Dan ia berguna untuk melindungi siput laut dari terik matahari.

Pada hari yang ditentukan si Rusa sudah mengundang kawan-kawannya untuk menyaksikan pertandingan itu. Sedangkan si Kulomang sudah menyiapkan sepuluh teman-temannya. Setiap ekor dari temannya ditempatkan mulai dari tanjung ke dua hingga tanjung ke sebelas. Dia sendiri akan berada ditempat mulainya pertandingan. Diperintahkannya agar teman-temanya menjawab setiap pertanyaan si Rusa.

Begitu pertandingan dimulai, si Rusa langsung berlari secepat-cepatnya mendahului si Kulomang. Selang beberapa jam is sudah sampai di tanjung kedua. Nafasnya terengah-engah. Dalam hati ia yakin bahwa si Kulomang mungkin hanya mencapai jarak beberapa meter saja. Dengan sombongnya ia berteriak-teriak, Kulomang, sekarang kau ada di mana? Temannya si Kulomang pun menjawab, aku ada tepat di belakangmu. Betapa terkejutnya si Rusa, ia tidak jadi beristirahat melainkan lari tunggang langgang.

Hal yang sama terjadi berulang kali hingga ke tanjung ke sepuluh. Memasuki tanjung ke sebelas, si Rusa sudah kehabisan napas. Ia jatuh tersungkur dan mati. Dengan demikian si Kulomang dapat bukan saja mengalahkan tetapi juga memperdayai si Rusa yang congkak itu.


Pada zaman penjajahan Belanda, ada sebuah negeri yang bernama Luhu. Negeri itu terletak di Pulau Seram, Maluku. Negeri Luhu adalah negeri yang kaya dengan hasil cengkeh. Negeri yang jumlah warganya tidak terlalu banyak itu diperintah oleh Raja Gimelaha Luhu Tuban atau yang lebih dikenal dengan nama Raja Luhu. Sang Raja mempunyai permaisuri bernama Puar Bulan dan seorang putri bernama Ta Ina Luhu yang cantik jelita. Ta Ina Luhu berarti anak perempuan dari Luhu atau Putri Negeri Luhu atau Puteri Luhu. Ia adalah anak sulung sang raja yang memiliki perangai yang baik, yaitu penurut, berbudi pekerti luhur, rajin beribadah, mandiri, serta sayang kepada seluruh keluarganya. Selain Ta Ina Luhu, Raja Luhu mempunyai dua orang putra, yaitu Sabadin Luhu dan Kasim Luhu.

Suatu ketika, kabar tentang kekayaan Negeri Luhu di Pulau Seram terdengar oleh penjajah Belanda yang berkedudukan di Ambon. Mendengar kabar tersebut, Belanda berniat untuk menguasai pulau itu. Dengan persenjataan lengkap, Belanda menyerang Negeri Luhu. Raja Luhu dan pasukannya berusaha untuk mengadakan perlawanan sehingga peperangan pun tak terelakkan. Perang itu dikenal dengan nama Perang Pongi, dan ada juga yang menyebutnya Perang Huamual. Dalam pertempuran itu, penjajah Belanda berhasil menguasai Negeri Luhu. Raja Luhu berserta keluarga dan seluruh rakyatnya tewas. Satu-satunya orang yang selamat ketika itu adalah putri raja, Ta Ina Luhu. Namun, ia ditangkap dan dibawa oleh penjajah Belanda ke Ambon untuk dijadikan istri panglima perang Belanda.

Setibanya di Benteng Victoria, Ambon, Ta Ina Luhu menolak untuk dijadikan istri oleh panglima perang Belanda. Akibatnya, ia pun diperkosa oleh sang panglima. Putri cantik yang malang itu tidak dapat berbuat apa-apa. Namun, karena tidak ingin terus-terusan diperlakukan tidak senonoh oleh panglima itu, Ta Ina Luhu selalu berpikir keras untuk mencari cara agar keluar dapat dari Kota Ambon.

Suatu malam, Ta Ina Luhu berhasil mengelabui tentara Belanda sehingga ia dapat melarikan diri dari kota Ambon. Ia berjalan menuju ke sebuah Negeri yang bernama Soya. Di negeri itu, ia disambut baik oleh Raja Soya. Bahkan, ia kemudian dianggap sebagai keluarga istana Soya. Ia diberi kamar tidur yang bagus dan indah. Atas sambutan tersebut, Ta Ina Luhu sangat terharu karena teringat ketika ia dulu menjadi putri di negerinya. Tak terasa, air matanya menetes membasahi kedua pipinya. Wajah kedua orangtua dan adik-adiknya kembali terbayang di hadapannya. Ta Ina Luhu sangat merindukan keluarganya tersebut.

Ayah, Ibu! Adikku, Sabadin dan Kasim! Beta sangat merindukan kalian. Beta hanya bisa berdoa semoga kalian hidup tenang di alam sana!

Setelah beberapa bulan tinggal di dalam istana Soya, Ta Ina Luhu diketahui hamil. Keadaan demikian membuatnya semakin merasa berat tinggal di istana karena tentu akan semakin merepotkan keluarga Raja Soya. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk meninggalkan istana.

O, Tuhan! Beta tidak mempunyai keluarga lagi di dunia ini. Tapi, kehadiran beta di tempat ini hanya akan merepotkan keluarga Raja Soya. Beta harus pergi dari istana ini. Berilah beta petunjuk-Mu, Tuhan! pinta Ta Ina Luhu.

Pada suatu malam, saat suasana di dalam istana sudah sepi, Ta Ina Luhu mengendap-endap berjalan menuju ke pintu belakang istana sambil mengawasi keadaan sekelilingnya. Rupanya, ia benar-benar ingin pergi dari istana secara diam-diam. Ia sengaja tidak memberitahukan kepergiannya kepada keluarga Raja Soya karena sudah tentu mereka tidak akan mengizinkannya. Setelah sampai di halaman belakang istana, ia melihat ada seekor kuda sedang ditambatkan di bawah sebuah pohon. Kuda itu adalah milik Raja Soya yang biasa dipakai ketika akan menghadap Gubernur Ambon. Dengan hati-hati, Ta Ina Luhu naik di atas punggung kuda itu. Sebelum meninggalkan negeri itu, sang putri berbisik dalam hati.

Maafkan beta, Baginda! Maafkan beta, wahai seluruh keluarga istana! Kalian sungguh baik hati kepada beta. Tapi, beta terpaksa harus pergi karena beta tidak ingin merepotkan kalian. Relakanlah beta pergi dan kalian jangan mencari beta lagi!

Setelah itu, Ta Ina Luhu yang sedang mengandung itu segera pergi sebelum ada warga istana yang melihatnya. Ia menyusuri hutan belantara yang sepi dan mencekam. Meskipun suasana malam terasa sangat dingin, Putri Raja Luhu itu terus memacu kuda yang ditungganginya menuju ke puncak gunung. Setibanya di sana, sang putri pun berhenti. Ia sangat takjub melihat pemandangan Teluk Ambon yang sungguh mempesona. Pemandangan itu sejenak mengobati luka-lara sang putri.

Oh, Negeriku! Keindahanmu sungguh mempesona, ucap Ta Ina Luhu dengan kagum.

Usai berucap demikian, sang putri tiba-tiba terjatuh dari kudanya hingga tak sadarkan diri. Rupanya, ia sudah tidak kuat lagi menahan rasa lelah yang begitu berat setelah menempuh perjalanan jauh. Tak berapa lama kemudian, ia kembali sadar. Dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya, perlahan-lahan sang putri berusaha bangkit dan berdiri di samping kudanya. Dalam keadaan setengah sadar, ia menarik kudanya menuju ke sebuah pohon jambu yang rindang dan berbuah lebat.

Setelah menambatkan kudanya pada batang pohon jambu, sang putri segera membaringkan tubuhnya. Dalam sekejap, ia pun langsung tertidur pulas dan baru terbangun pada keesokan harinya ketika matahari mulai beranjak tinggi. Begitu ia terbangun, perutnya terasa kosong. Dengan kondisi tubuh yang masih lemas, ia berusaha meraih buah jambu yang sudah matang. Setelah memakan beberapa buah jambu tersebut, tenaganya pun berangsur-angsur pulih.

Sementara itu, di istana Soya, sang raja menjadi panik ketika mengetahui Ta Ina Luhu tidak ada di kamarnya. Seluruh keluarga istana telah mencarinya ke seluruh ruangan istana namun belum juga menemukannya. Para pengawal istana yang mencarinya di jalan-jalan Kota Soya juga tidak menemukannya. Pada saat pencarian dilakukan, tiba-tiba seorang pengawal datang menghadap kepada Raja Soya.

Ampun, Baginda! Hamba ingin melaporkan sesuatu, lapor pengawal itu.

Hai, apakah kamu sudah menemukan Putri Ta Ina Luhu? Di mana dia sekarang? tanya Raja Soya dengan penasaran.

Ampun, Baginda Raja! Hamba hanya ingin melaporkan bahwa kuda milik Baginda yang ditambatkan di belakang istana juga hilang. Jadi, hamba berpikir bahwa Putri Ta Ina Luhu pergi dengan menunggang kuda, jelas pengawal itu.

Mendengar laporan itu, Raja Soya semakin panik. Ia sangat mencemaskan keadaan Putri Ta Ina Luhu yang sedang mengandung itu. Tanpa berpikir panjang, ia segera membunyikan tifa (gendang kecil) sebanyak empat kali untuk memanggil marinyo (seorang petugas tifa), dan kemudian kembali memukulnya sebanyak enam kali untuk memanggil Kepala Soa (penasehat raja). Tak berapa lama kemudian, kedua pejabat istana tersebuat datang menghadap kepadanya.

Ampun, Baginda! Ada apa Baginda memanggil kami? tanya kedua pejabat itu serentak.

Segera kumpulkan semua laki-laki yang berumur enam belas tahun hingga empat puluh tahun. Setelah itu, perintahkan mereka untuk pergi mencari dan membawa pulang Putri Ta Ina Luhu dalam keadaan selamat! titah Raja Soya.

Titah Baginda kami laksanakan, jawab keduanya seraya memberi hormat.

Setelah orang-orang tersebut berkumpul, mereka dibagi ke dalam beberapa kelompok. Kemudian, mereka pergi mencari sang putri dengan mengikuti jejak tapak kaki kuda yang ditunggangi oleh sang putri.

Sementara itu, Ta Ina Luhu masih berada di puncak gunung. Ketika hari menjelang siang, tiba-tiba ia mendengar suara orang yang memanggilnya dari jauh. Ia pun sadar bahwa orang-orang tersebut pastilah para pengawal Raja Soya yang datang mencarinya. Oleh karena itu, ia segera meninggalkan tempat itu. Tak begitu lama setelah kepergiannya, sebagian rombongan pengawal Raja Soya tiba di tempat itu. Akhirnya, mereka tidak berhasil menemukan sang putri kecuali kulit jambu bekas sisi-sisa makanan sang putri. Konon, rombongan itu kemudian menamakan tempat itu Gunung Nona.

Ta Ina Luhu terus memacu kudanya menuruni lereng gunung itu menuju ke pantai Amahusu. Karena begitu kencangnya, topi yang dikenakannya diterbangkan angin. Menurut cerita, ketika ia ingin berhenti hendak mengambilnya, topi itu tiba-tiba menjelma menjadi sebuah batu. Batu itu kemudian diberi nama Batu Capeu.

Ta Ina Luhu terus menelusuri pantai Amahusu hingga akhirnya sampai ke Ambon. Tumbuh sang putri tampak begitu lemah karena lapar dan haus. Demikian pula dengan kuda tunggangannya. Setelah beberapa jauh berjalan mencari air minum, akhirnya ia menemukan sebuah mata air. Ta Ina dan Luhu segera meminum air dari mata air tersebut dengan sepuasnya. Konon, mata air itu dinamakan Air Putih.

Setelah sejenak beristirahat di tempat itu, Ta Ina Luhu berniat untuk kembali ke puncak Gunung Nona dengan melalui jalan yang berbeda agar tidak bertemu dengan para pengawal Raja Soya. Namun, ketika hendak beranjak dari tempat itu, tiba-tiba ia mendengar suara orang-orang memanggilnya.

Putri, Putri, Putri Ta Ina Luhu! Kembalilah Baginda Raja Soya sedang menunggumu!

Ta Ina Luhu pun segera naik ke atas kudanya hendak melarikan diri. Namun, begitu ia akan memacu kudanya, tiba-tiba rombongan Raja Soya datang menghadangnya. Dalam keadaan terdesak, Ta Ina Luhu segera turun dari kudanya seraya berlutut memohon kepada Tuhan agar rombongan itu tidak membawanya pulang ke istana Soya.

Oh, Tuhan! Tolonglah beta ini! Beta tidak mau kembali ke istana Soya. Beta tidak mau merepotkan orang lain. Biarkanlah beta hidup sendirian! pinta Ta Ina Luhu.

Ketika salah seorang pengawal akan menarik tangannya, tiba-tiba Ta Ina Luhu menghilang secara gaib. Rombongan pengawal tersebut pun tersentak kaget. Mereka hanya terperangah menyaksikan peristiwa ajaib itu.

Sejak peristiwa itu, penduduk Ambon sering diganggu oleh sesosok makhluk halus. Jika hujan turun bersamaan dengan cuaca panas, seringkali ada wargaterutama anak-anakyang hilang. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, makhluk halus yang suka mengambil anak-anak tersebut adalah penjelmaan dari Ta Ina Luhu. Sejak itu pula, Ta Ina Luhu dipanggil dengan sebutan Nenek Luhu. Hanya saja, hingga saat ini tak seorang pun yang tahu mengapa Nenek Luhu suka mengganggu orang, terutama anak-anak.

* * *

Demikian cerita legenda Nenek Luhu dari daerah Ambon, Maluku. Legenda di atas mengandung nilai-nilai moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Sedikitnya ada dua nilai moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu nilai pantang menyerah dan nilai kemandirian. Kedua nilai tersebut terlihat pada sikap dan prilaku Ta Ina Luhu. Nilai pantang menyerah terlihat ketika ia tidak pernah berputus asa dalam berusaha mencari cara untuk bisa lolos dari sergapan penjajah belanda karena tidak tahan lagi terus diperlakukan tidak senonoh. Sementara itu, nilai kemandirian Ta Ina Luhu terlihat ketika ia tidak ingin merepotkan orang lain. Itulah sebabnya, ia pergi dari istana Soya tanpa memberi tahu Raja Soya.

Selain itu, cerita di atas juga mengandung nilai kesehatan. Terlepas dari benar atau salah, keyakinan tentang Nenek Luhu yang sering muncul pada saat hujan bersamaan dengan cuaca panas merupakan mitos yang digunakan oleh masyarakat setempat untuk menakut-nakuti anak-anak mereka agar tidak keluar rumah karena keadaan cuaca demikian dapat mendatangkan penyakit seperti pilek, batuk, dan demam.




Daerah Nunusaku, dahulu kala merupakan pusat kegiatan pulau Seram, yang biasa juga disebut Nusa Ina. Penduduk pulau tersebut mulai tersebar ke tempat-tempat lain yang dipimpin oleh empat orang kapitan. Mereka berempat bermusyawarah untuk menyepakati tujuan arah pengembaraannya. Sasaran mereka yaitu akan menghilir sepanjang sungai Tala, sebab sungai ini memiliki banyak kekayaan.

Perbekalan dan persiapan dalam perjalanan disiapkan dengan cepat. Sebagaimana biasa, upacara adatpun dilakukan sebelum perjalanan dimulai, yaitu dengan jalan kaki ke negeri Watui.

Sesampai di negeri Watui, mereka mulai membuat sebuah rakit (gusepa) yang di buat dari batang dan bilah-bilah bambu. Rakit ini dipakai untuk menghilir sungai Tala. Sungai ini terkenal dengan keganasannya, airnya sangat deras dan terdapat banyak batu-batu besar di sepanjang alirannya.

Pelayaran pun dimulai dan sebagai pimpinannya adalah Kapitan Nunusaku, yang merupakan Kapitan besar turunan moyang Patola. Moyang inilah yang menjadi moyang dari mata rumah Wattimena Wael di Mahariki. Harta milik Kapitan Nunusaku dibawanya semua, tidak lupa pula seekor burung nuri atau burung kasturi raja. Selain itu juga dibawanya sebuah pinang putih yang diletakkan dalam tempat sirih pinang.

Di belakang kemudi duduk kapitan yang akan menjadi moyang dari mata rumah Wattimury. Di tengah rakit adalah kapitan yang akan menjadi moyang Nanlohy. Di belakang sebelah kanan duduk kapitan yang akan menjadi moyang Talakua. Untuk menjaga harta milik mereka ditunjuk Kapitan Nanlohy. Di dalam hukum adat, ia bertindak sebagai seorang Dati yang akan menentukan pembagian-pembagian, baik milik pribadi maupun milik bersama. Oleh sebab itu, maka semua harta milik dan pembekalan diletakkan di tengah rakit berdekatan dengan Kapitan Nanlohy.

Rakit melaju karena kekuatan air yang mengalir turun menuju Tala. Namun ketika tiba di tempat yang bernama Batu Pamali, rakit mereka kandas dan hampir terbaik. Kapitan Wattimena Wael terkejut dan berteriak kepada kapitan yang berada di dekatnya. “Talakuang!!” Yang artinya ”tikam tahan gusepa” Dan kapitan yang mendapat perintah tersebut dinamakan ”Talakua” yang kemudian menjadi moyang dari mata rumah Talakua di negeri Portho hingga sekarang.

Ketika rakit hampir berbalik, saat itu Kapitan Wattimena tengah menbuka tempat sirih pinagnya menjadi terjatuh. Pada saat yang sama burung nurinya pun terbang. Kejadian ini sangat mengecewakan kapitan yang langsung terucap menikrarkan sumpah hingga merupakan pantangan bagi mata rumah Wattimena Wael. Bunyi sumpah tersebut, bahwa turun temurun mata rumah Wattimena Wael dan para menantu tak boleh memelihara burung nuri dan memakan sirih pinang. Kemudian yang berada di sungai tersebut dinamakan Batu Pamali hingga sekarang.

Perjalanan pun dilanjutkan dan akhirnya mereka tiba di Tala. Di tempat itu mereka membuat suatu perjanjian dengan menanam sebuah batu perjanjian, yang kemudian dinamakan Manuhurui, lalu berubah menjadi Huse. Perjanjian yang mereka ikrarkan ialah walaupun mereka nanti bercerai berai, hubungan persaudaraan yang terbina selama ini haruslah dipertahankan.

Selain itu pula, mereka harus saling tolong menolong dalam segala hal, kunjug mengunjungi satu dengan yang lain. Tempat ini kemudian menjadi suatu batu pertanda tempat kenang-kenangan dari keturunan negeri Mahariki, Amahai, Luhu dan Portho.

Setelah proses perjanjian selesai, Kapitan Wattimena dan Kapitan Wattimuri beristirahat tidur. Sementara itu Kapitan Nanlohy dan Kapitan Talakua naik ke atas rakit. Tiba-tiba rakit itu terbawa arus dan hanyut, Kapitan Wattimena dan Kapitan Wattimuri yang terbangun dari tidurnya melihat rakit itu hanyut yang semakin ke tengah laut hanya bisa melambaikan tangannya.

Rakit yang membawa Kapitan Nanlohy dan Kapitan Talakua terkatung-katung di Tanjung Hualoi. Mereka hanya bisa membalas lambaian tangan kedua kapitan yang berada di darat. Mereka tak bisa menbawa rakitnya menepi. Kapiatan Nanlohy meloncat dan berenang melawan arus. Tapi naas, karena letih dan kecapaian akhirnya ia terdampar di tempat yang bernama Nanaluhu, yang berarti ”berenang dan terdampar di hulu’.

Sementara itu, Kapitan Talakua terus hanyut berbawa arus hingga melewati Tanjung Uneputty. Pelayaran yang hanyut itu akhirnya terdampar juga pada suatu teluk di pulau Saparua. Dimana dibangunnya negeri yang diberi nama Portho. Hal itu didengar oleh Kapitan Nanlohy dan ia pun pindah dari Luhu ke Portho untuk hidup bersama dan mengembangkan keturunannya menjadi satu mata rumah yang besar.

Kapitan Wattimena Wael dan Kapitan Wattimuri yang tetap tinggal di daerah Manuhurui di kampung Sanuhu, banyak mempuyai sahabat. Antara lain Kapitan kampung tersebut. Kapitan itu kemudian dijadikan pengitai oleh Kapitan Wattimena Wael.


Kisah O Bia Moloku dan O Bia Mokara

Dahulu, jauh di belahan bumi sebelah utara kepulauan Maluku yang terdapat suatu daerah yang disebut Tobelo. Konon daerah yang diliputi lautan yang membiru itu menyimpan suatu kisah yang menarik.

Beratus tahun yang lalu di suatu rumah yang berdindingkan daun rumbia diamlah satu keluarga. Ayahnya seorang nelayan yang siang dan malam hidupnya diatas lautan, bertarung nyawa untuk menghidupkan anak istrinya. Ibunya adalah seorang ibu rumah tangga yang setia dan sangat bijaksana. Mereka memiliki dua orang anak. Yang sulung seorang anak perempuan bernama O Bia Moloku. Kecantikannya melebihi kecantikan ibunya. Sedangkan adiknya yang laki-laki bernama O Bia Mokara. Umurnya 1 tahun, tampan dan berperawakan mirip ayahnya.

Pada suatu hari ayah mereka pergi melaut dan seperti biasa sebelum ayah mereka bertolak ke laut, tak lupa ditinggalkannya makanan dan telur ikan pepayana di rumahnya.

Beberapa hari setelah kepergian ayahnya melaut, ibunya pergi ke kebun. Sebelum ibunya pergi ia berpesan kepada kedua anaknya, Hai anak-anakku, jangan kamu makan telur ikan yang ditinggalkan ayahmu ini. Apabila kamu memakannya akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Ibunya berkata dengan sungguh-sungguh tetapi mereka berdua hanya tertawa saja. Setelah ibunya selesai memberi nasihat maka pergilah ibunya ke kebun.

Kira-kira tiga jam berlalu, adiknya O Bia Mokara merasa lapar. Dimintanya makanan dan telur ikan. Kakaknya O Bia Moloku tak mau memberikan permintaan adiknya. Adiknya menangis tersedu-sedu tetapi O Bia Moloku tetap tidak mau memberikan telur ikan itu. Semakin lama semakin keras saja tangisan adiknya. Akhirnya O Bia Moloku tak tega melihat adiknya menangis terus-menerus dan telur ikan itu segera diberikan kepada adiknya. Sambil tertawa adiknya memakan telur ikan itu dengan lahapnya. Setelah memakan telur itu sampai habis, beberapa sisa telur ikan itu melekat pada gigi adiknya.

Tak lama kemudian ibunya kembali dari kebun membawa singkorig, pepaya dan sayur-sayuran. Setelah selesai membersihkan badannya, ibunya pun menggendong O Bia Mokara dan segera menyusui si O Bia Mokara. Setelah itu, ibunya dengedenge (menyanyi sambil menari) sambil menggendong O Bia Mokara yang tertawa gembira karena sangat senang berada dalam pelukan ibunya yang sangat didambakannya. Namun tiba-tiba ayunan mesra ibunya dikejutkan dengan terlihatnya sisa telur ikan yang melekat pada gigi O Bia Mokara. Suasana sukacita segera berubah menjadi keheningan yang mendalam. Ibunya tertegun sebentar, sekujur badannya menjadi dingin gemetar dan marah sekali kepada kedua anaknya. Amarah ibunya tak dapat ditekan lagi. Ia segera melepaskan O Bia Mokara dan segera melarikan diri menyusuri pesisir pantai. Sambil menggendong O Bia Mokara yang menangis terus, O Bia Moloku mengejar ibunya sambil memanggil-manggil ibunya.

Mama, mama, O Bia Mokara menangis terus, Mama! Namun, panggilannya hanya dijawab oleh mamanya. Peras saja daun katang-katang, ada air susunya!

Setelah tiga kali O Biao Moloku memberikan air susu dari daun katang-katang kepada adiknya, ibunya pun menerjunkan diri ke laut. Sementara menyelam ia menemukan sebuah batu yang timbul di permukaan air. Naiklah ibunya ke atas batu itu dan berkata, Terbukalah agar aku dapat masuk. Batu itu terbuka, lalu ibunya pun masuk ke dalam batu itu. Dengan segera ia pun berteriak, Tutuplah. Maka batu itu pun tertutup selama-lamanya tanpa berbekas.

Cerita ini merupakan suatu mitos yang dipercayai oleh masyarakatnya. Dan cerita ini pula menyatakan kepada kita agar mendengar nasihat atau petuah orang tua.

Ini lagunya yang dinyanyikan sang ibu sebelum ditelan “batu”

Batu badaong,batulah bertangkai
Buka mulutmu,terangkan beta 2x

Buatlah apa beta tinggal sendiri
Sedangkan ibu telah tarada
Hidup sendiri talalu susah

Batu badaong,batulah bertangkai
Buka mulutmu terangkan beta 2x

Batu badaong


Pulau Ambon adalah salah satu pulau yang indah di Indonesia. Di sana terdapat lautan yang membiru dipenuhi ikan yang beraneka ragam. Ada pula ikan yang dapat terbang mencecah laut. Taman lautnya yang penuh dengan berbagai jenis hewan laut, membuatnya semakin indah dipandang mata.

Dikisahkan pada zaman dahulu, kota Ambon yang terletak pada jazirah Lei Timur dan jazirah Lei Hitu itu dihubungkan oleh satu tanah genting yang bernama Tanah Genting Baguala. Di tempat ini hidup seekor buaya yang sangat besar. Panjang badannya kira-kira 5 meter dan warna kulitnya kuning. Oleh sebab itu, penduduk di sana memberinya nama Buaya Tembaga. Keadaan alam di Baguala yang begitu indah dan nyaman, membuat Buaya Tembaga itu merasa betah tinggal di sana. Apalagi penduduknya sangat memuja buaya tersebut.

Tak jauh dari tempat itu, di pesisir pantai selatan Pulau Buru, hiduplah seekor ular besar yang bertengger di atas sebatang pohon Mintaggor. Pohon itu tumbuh di tepi pantai dan selalu condong ke arah laut. Ular tersebut selalu mengganggu ketenteraman hidup semua penghuni tempat itu. Hampir semua ikan ditelannya, buaya-buaya pun turut dimangsanya juga. Oleh karena itu, ikan-ikan, buaya, dan binatang lain berkumpul untuk mengadakan musyawarah dengan tujuan untuk mengatasi serta membasmi ular raksasa itu. Akhirnya, mereka sepakat bahwa yang dapat menandingi ular tersebut adalah Buaya Tembaga.

Setelah selesai bermusyawarah mereka mengirim utusan untuk menemui Buaya Tembaga. Tujuannya yaitu meminta bantuan agar dapat menghancurkan ular pemangsa itu. Mereka kemudian menjemput Buaya Tembaga dari Teluk Baguala, sementara ikan-ikan dan buaya yang lain sibuk mempersiapkan upacara penyambutan bagi Buaya Tembaga.

Setibanya mereka di Teluk Baguala, Buaya Tembaga mengabulkan permohonan mereka dan bersedia untuk berangkat bersama dengan para utusan itu menuju pantai selatan Pulau Buru. Setibanya di Pulau Buru, Buaya Tembaga disambut dengan hangat dalam suatu upacara yang meriah. Upacara pun dihadiri oleh para penghuni laut seperti keong laut, berjenis ikan, para buaya, aneka macam burung laut. Mereka beramah-tamah dan bersuka-ria dengan Buaya Tembaga selama dua hari.

Pada hari yang ketiga, berangkatlah Buaya Tembaga melaksanakan tugasnya. Ia mulai berjalan, berenang ke sana-kemari mengintai musuhnya dan mendekati pohon mintanggor tempat ular raksasa itu berada. Ketika buaya melewati pohon itu, ia berpapasan dengan sang ular. Seketika itu ular langsung melilitkan ekornya pada batang pohon mintanggor dan menjulurkan badannya ke laut seraya memagut Buaya Tembaga.

Pagutan ular itu segera ditangkis Buaya Tembaga dengan mengibaskan ekornya yang keras dan tajam. Perang tanding pun terjadi antara keduanya dan peristiwa ini disaksikan oleh semua penghuni laut yang berada di sekitar tempat itu. Pertarungan tersebut terjadi selama lebih dari sehari.

Ketika pertarungan itu sudah berlangsung selama dua hari, terjadilah saat-saat yang menentukan. Sang ular, seperti biasa, melilitkan ekornya kuat-kuat pada batang pohon mintanggor dan memagut mata sang buaya. Buaya pun dengan sigap segera mengelak dari serangan ular dan membalas dengan pu*kulan yang keras dan cepat. Lalu ia hempaskan ekor tajamnya ke arah kepala ular raksasa itu. Hal ini terjadi berulang kali. Akibatnya, sang ular pun babak belur terkena sambaran ekor Buaya Tembaga. Kepalanya remuk, lilitan ekornya terlepas dari batang pohon mintanggor dan terhempas ke laut. Maka berakhirlah sudah riwayat ular raksasa tersebut.

Para penghuni laut yang menyaksikannya serentak bersorak-sorai. Dengan demikian, mereka telah bebas dari ancaman sang ular yang selama ini menghantui mereka. Setelah kejadian itu, Buaya Tem*baga dianugerahi gelar Yang Dipertuan di daerah Teluk Baguala. Hadiah itu dipersembahkan pada sebuat tagala dan diisi dengan beberapa jenis ikan seperti ikan parang, make, papere, dan salmaneti. Selanjutnya, Buaya Tembaga pun kembali ke tempat asalnya dengan membawa hadiah tersebut. Sejak saat itu, ikan-ikan tersebut berkembang-biak dengan baik di Teluk Baguala. Hingga kini, ikan jenis itu sangat banyak terdapat di teluk tersebut. Bahkan banyak penduduk yang percaya, terutama yang tinggal di sekitar Teluk Baguala bahwa bila Buaya Tembaga itu muncul pertanda akan datang banyak ikan. Sehingga masyarakat bersiap-siap untuk menangkap ikan dan menjualnya. Kemunculan Buaya Tembaga membawa keberuntungan bagi penduduk Baguala. ( info : maluku satu darah )

Comments