Kisah Legenda Batu Menangis

cerita rakyat jawa timur,legenda batu menangis


Budaya dan Cerita Rakyat - Lengenda Batu Menangis-Kisah sejarah kali ini akan menceritakan tentang LEGENDA BATU MENENGIS. Konon katanya, batu yang mengeluarkan air mata ini merupakan perwujudan dari seorang gadis jelita. 

Pasti semua sobat sudah pernah mendengar kisah yang berasal Kalimantan Barat ini Bukan? Bagi yang belum silakan disimak......

Legenda Bantu Menangis menceritakan tentang kisah kehidupan seorang janda miskin yang hidup berdua dengan anak gadis semata wayangnya yang jelita bernama Darmi. Mereka tinggal disebuah gubuk di wilayah terpencil di Kalimantan Timur, yang berbatasan langsung dengan serawak, Malaysia Timur. Kehidupan mereka diapit oleh ratusan sungai baik besar maupun kecil.

Kehidupan Sang Janda dan Darmi anaknya memang sangat kekurangan. Sang suami telah dahulu berpulang kepangkuan Sang Maha Kuasa tanpa meninggalkan warisan apapun kepada kedua orang tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan, sang Ibu harus membanting tulang bekerja di sawah milik orang lain sebagai buruh upahan.

Biasanya anak yang lahir dari keluarga sederhana cenderung mengerti dengan keadaan orang tuanya. Akan tetapi tidak demkian dengan Darmi. Meski melihat kondisi keluarga dengan ekonomi yang minim, ternyata tidak membuatnya bergeming untuk turut membantu sang Ibu. Ia malah asik bersolek sepanjang hari untuk mempertahankan kecantikan wajahnya.

Ternyata kesulitan hidup yang seharusnya membuat Ia kuat malah membuatnya semakin pemalas dan tergantung kepada sang bunda. Alih-alih menolong pekerjaan ibunya. Darmi hanya berpangku tangan dan tidak sungkan untuk merengek meminta apapun yang Ia inginankan kepada ibunya. Terlebih untuk urusan perlengkapan dandan, Ia akan merengek agar bisa membeli alat kecantikan yang semakin mempecanti dirinya itu.

Ajakan Ibunya agar membantu pekerjaannya di sawah, selalu ditolaknya dengan berbagai alasan. Naamun ia selalu menjadi orang pertama yang meminta orang kerja yang diperoleh sang ibu jika sudah mendapatkan upah. Uang yang esharusnya dipergunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari, dirampasnya untuk membeli perlengkapan dandan. Sang Ibu pun tak mamp berbuat banyak dengan paksaan dan bentakan yang dilakukan Darmi. Ia hanya mengelus dada melihat tingkah anak semata wayangnya itu.

Namun Tuhan pun akhirnya membalas kedurhakaan Darmi. Pada suatu hari, ibunya hendak ke pasar Darmi berpesan agar dibelikan sebuah alat kecantikan. Tapi ibunya tidak tahu alat kencantikan yang dia maksud. Kemudian ibunya mengajaknya ikut kepasar.

“Kalau begitu ayo temani Ibu ke pasar!” ajak Ibunya.

“Aku tidak mau pergi ke pasar bersama Ibu!” jawab Darmi menolak ajakan ibunya.

“Tapi Ibu tidak tahu alat kecantikan yang kamu maksud itu, Nak!” seru ibunya.

Akhirnya setelah di desak beberapa kali, Darmi pun mau mengikuti kata sang ibu. Namun kedurhakaannya tetap saja tidak hilang. Ia mau kepasar jika sang ibu mau berjalan di belakangnya. Ia beralasan malu jika orang lain mengetahui bahwa sang Ibu adalah ibu kandungnya.

“Memang kenapa , Nak!” tanya Ibunya penasaran

“Aku malu kepada orang-orang kampung jika berjalan berdampingan dengan ibu,” jawab Darmi.

“Kenapa harus malu, Nak? Bukankah aku ini Ibun kandungmu?” tanya sang Ibu.

“Ibu seharusnya berkaca. Lihat wajah Ibu yang sudah keriput dan pakian ibu sangat kotor itu! Aku malu punya Ibu berantakakan sperti itu” seru Darmi dengan nada merendahkan Ibunya.

”Kenapa harus malu, Nak? Bukankah aku ini Ibu kandungmu?” tanya sang Ibu.


”Ibu seharusnya berkaca. Lihat wajah Ibu yang sudah keriput dan pakaian ibu sangat kotor itu! Aku malu punya Ibu berantakan seperti itu!” seru Darmi dengan nada merendahkan Ibunya.
Mendengar kata-kata sang anak, Ibu sontak menjadi sangat sedih. Namun tetap saja Ia menuruti.
Kata-kata putrinya itu. Setelah itu, berangkatlah mereka secara beriringan. Si Darmi berjalan didepan, sedangkan Ibunya mengikuti dari belakang dengan membawa keranjang. Meskipun keduanya ibu dan anak, penempilan mereka sangat berbeda. Seolah-olah mereka bukan keluarga yang sama.
Sang Anak terlihat cantik dengan pakian yang bagus, sedangkan sang Ibu kelihatan sangat tua dengan pakaian yang sangat kotor dan penuh tambalan.

Di tengah perjalanan, Darmi bertemu dengan temannya yang tinggal di kampung lain.

“Hei, Darmi! Hendak ke mana kamu?” tanya temannya itu.

“Kepasar!” jawab Darmi dengan pelan.
“Lalu siapa orang di belakangmu itu? Apakah di ibumu? tanya lagi temenya sambil menunjuk orang tua
yang membawa keranjang.

“Tentu saja bukan ibuku! Dia adalah pembantuku” Darmi dengan nada sinis.

Laksana disambar petir orang tua itu mendengar ucapan putrinya. Tapi dia hanya terdiam sambil menahan rasa sedih. Setelah itu, keduanya pun melanjutkan perjalanan menuju kepasar. Tidak beberapa lama berjalan mereka bertemu lagi dengan seseorang.

“Hei Darmi! Hendak kemana kamu?” tanya orang itu.

“Hendak kepasar,” jawab Darmi singkat

“Siapa yang dibelakangmu itu?” tanya lagi orang itu.

“Dia pembantuku,” jawab Darmi mulai kesal dengan pertayaaan-pertanyaan itu.

Jawaban yang di lontarkan Darmi itu membuat hati ibunya sangat sedih. Tapi, sang ibu masih kuat menahan rasa sedihnya. Begitulah yang terjadi terus-menerus selama dalam perjalanan menuju ke pasar. Akhirnya, sang Ibu berhenti lalu duduk dipinggir jalan.

“Bu! Kenapa berhenti?” tanya Darmi heran.

Beberapa Darmi bertanya, namun sang Ibu tetap saja tidak menjawab pertanyaannya. Sesaat kemudian Darmi melihat mulut ibunya komat-kamit menengadahkan kedua tangan ke atas.

“Hai, Ibu sedang apa?” tanya Darmi dengan nada membentak.

Sang Ibu tatap saja tidak mau menjawab pertanyaan anaknya, Ia tetap berdoa kepada Tuhan agar menghukum anaknya yang durhaka itu.

“Ya, Tuhan! Ampunilah hambamu yan lemah ini. Hamba sudah tidak sanggup lagi menghadapi sikap anak hamba yang durhaka ini. Berikanlah hukuman yang setimpal kepadanya!” doa sang Ibu.

Beberapa saat kemudian tiba-tiba langit menjadi mendung. Petir menyambar-nyambar dan suara guntur bergemuruh memekakkan telinga. Hujan deras pun turun. Pelan-pelan, kaki Darmi berubah menjadi batu.
Darmi pun mulai panik.

“Ibu …! Ibu …! Apa yang tejadi dengan kakiku, Bu?” tanya Darmi sambil teriak.

“Maafkan Darmi! Maafkan Darmi, Bu! Darmi tidak akan mengulangi lagi, Bu!” seru Darmi semakin panik.


Sayangnya kutukan itu tidak bisa ditarik kembali. Darmi harus menerima nasibnya setelah dikutuk oleh ibunya. Tiba-tiba tubuhnya mengeras dan berubah menjadi batu. Perubahan itu terjadi dari kaki,badan, hingga kepala. Darmi hanya bisa menangis dan menyesal telah melukai hatinya.

Semuanya orang yang menyaksikan perubahan itu tidak bisa berbuat apa-apa. Setelah sekujur tubuh Darmi menjadi batu, cuaca tiba-tiba kembali cerah seperti sebelumnya. Batu yang dioercaya sebagai jelmaan Darmi kemudian diletakan di pinggir jalan bersandar ketebing. Oleh masyarakat setempat, batu itu mereka beri nama Batu Menangis. Batu itu masih dipelihara dengan baik, sehingga masih dapat kita saksikan hingga sekarang.

Meski kebenaran tentang Legenda Batu Menangis ini masih menjadi tanda tanya, namun batu yang kini bersandar di tebing itu akan menjadi pelajaran bahwa murka seorang ibu akan membuat Tuhan juga murka. Sayangilah Ibumu, Ayahmu, karena hanya mereka bisa menerimamu apa adanya di dunia ini.

Comments