kumpulan cerita daerah sumatra barat

 kumpulan cerita daerah sumatra barat, cerita daerah sumatra barat, kumpulan cerita rakyat sumatra barat, cerita rakyat



Sumatera Barat adalah salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di pulau Sumatera dengan Padang sebagai ibu kotanya. Sesuai dengan namanya, wilayah provinsi ini menempati sepanjang pesisir barat Sumatera bagian tengah dan sejumlah pulau di lepas pantainya seperti Kepulauan Mentawai. Dari utara ke selatan, provinsi dengan wilayah seluas 42.297,30 km² ini berbatasan dengan empat provinsi, yakni Sumatera Utara, Riau, Jambi, dan Bengkulu.
Nah mau tau cerita daerah di sumatra barat berikut adalah kumpulan cerita daerah sumatra barat, di mabil dari beberapa sumber


Di hilir sungai Batang Agam di daerah Padang Tarok yang airnya jernih, berdiri sebuah rumah bergojong (berujung) empat. Rumah tersebut dihuni oleh sepasang suami istri bernama Rajo Babanding dan Sadun Saribai. Mereka mempunyai dua orang anak, laki-laki dan perempuan, Mangkutak Alam dan Sabai nan Aluih.
Mangkutak Alam berwajah tampan, selalu dimanjakan oleh ayahnya ke mana pun pergi ia selalu diajaknya dan merupakan anak kebanggaan. Wataknya sedikit penakut. Sedangkan kakaknya Sabai nan Aluih berwajah cantik, lembut, rajin dan sering membantu ibunya. Waktu luang dimanfaatkan untuk membuat renda dan menenun. Kecantikan Sabai nan Aluih ini bahkan didengar sampai ke kampung-kampung lain di daerah Padang Tarok.
Suatu ketika Rajo nan Panjang seorang saudagar kaya yang baru kembali dari rantau, orang yang disegani di kampong Situjuh berkeinginan untuk menyunting Sabai nan Aluih. Maka dikirimlah anak buahnya sebagai utusan untuk melamar Sabai. Rajo Babanding orang tua Sabai menolak lamaran ini karena dia tahu, Rajo nan Panjang berusia sebaya dengannya, juga bersifat sombong, mata keranjang dan selalu membanggakan akan kekayaan dan harta bendanya.
â€Å“Katakan pada majikanmu, bahwa aku menolak lamarannya, pula Sabai belum mau berumah tangga!” Berkata Rajo Babanding kepada utusan Rajo nan Panjang.
Rajo nan Panjang yang berwatak keras merasa tersinggung atas penolakan ini. Beberapa hari kemudian ia sendiri yang datang ke rumah Rajo Babanding untuk melamar Sabai nan Aluih tetapi tetap ditolak dengan alasan Sabai nan Aluih belum mau berumah tangga. Mendengar langsung penolakan ini, Rajo nan Panjang pun menantang berkelahi kepada Rajo Babanding.
â€Å“Rajo Babanding, kau telah menolak lamaranku untuk menyunting putrimu Sabai. Itu arinya kau menghinaku dan sebagai orang yang disegani di kampong Situjuh, aku tak terima ini dan engkau akan menerima akibatnya.” Ancam Rajo nan Panjang sambil menunjukkan tangannya ke arah muka Rajo Babanding.
Mendengar ancaman ini Rajo Babanding sedikit pun tak merasa takut. Ia pun balik menantang Rajo nan Panjang,
â€Å“Kau kira aku takut dengan segala bentuk ancamanmu itu! Baik, sekarang mari kita bertanding!”
â€Å“Baik, kapan?” jawab Rajo nan Panjang.
â€Å“Bagaimana kalau hari minggu, di Padang Panahunan!”
Mendengar pertengkaran ini, Sabai nan Aluih yang berada di balik pintu, hatinya merasa gusar. Ia takut kalau mimpi yang dialaminya selama ini akan menjadi kenyataan. Ia bermimpi, lumbung padinya terbakar jadi arang, kerbau-kerbaunya yang berada di kandang dicuri orang, dan ayam aduannya disambar elang. Segera ia pun mengutarakan mimpinya itu kepada ayahnya.
â€Å“Anakku Sabai, mimpimu itu berarti baik. Lumbung terbakar berarti padi akan segera dipanen, kerbau dicuri orang berarti ternak kita akan bertambah, ayam disambar elang itu artinya Mangkutak Alam akan dilamar orang.” Demikian jawab Rajo Babanding sambil mengelus rambut putrinya itu dengan maksud untuk menenangkan pikiran gusar Sabai nan Aluih.
Pada hari yang telah disepakati, pergilah Rajo Babanding ke Padang Panahunan, sebuah tempat sunyi biasa dipakai sebagai tempat adu kesaktian. Rajo Babanding mengajak seorang pembantu setianya bernama Palimo Parang Tagok. Ini dilalukannya bukan untuk membantunya bertanding, tetapi untuk berjaga-jaga apabila Rajo nan Panjang berbuat curang.
Di Padang Panahunan, Rajo nan Panjang sudah berada di sana terlebih dahulu bersama para pengawalnya. Rajo nan Kongkong, Lompong Bertuah, dan Panglimo Banda Dalam.
â€Å“Hai pengawalku, kuperingatkan kepadamu. Jangan sekali-kali memandang remeh Rajo Babanding. Meskipun ia Nampak lembut, ia cukup mahir dalam bermain silat dan hatinya tegar sekeras batu karang, berhati-hatilah!” Tukas Rajo nan Panjang kepada ketiga pengawalnya.
Setelah kedua belah pihak saling berdekatan, pertarungan pun tak terelakkan lagi, merekapun saling menyerang. Palimo Banda Dalam tersungkur terkena tendangan Palimo Parang Tagok. Lampong bertuah menyerang untuk membela temannya dengan menikam Palimo Parang Tagok dari belakang. Melihat ini Rajo Babanding menjadi marah. Jika semula dia hanya bertahan, kini dia mulai menyerang. Rajo nan Panjang terluka lalu terjatuh dalam lukanya yang parah ia berkata kepada pengawalnya, â€Å“Nan Kongkong, Kenapa kau diam saja? Segera tembakkan senapanmu!” Mendengar perintah ini Nan Kongkong yang berada dibalik semak-semak segera mengarahkan senapannya kearah Rajo Babanding. Bunyi letusan senapanpun berdentam dari balik semak-semak, dor...dor..dor... ! Rajo Babanding pun terjatuh ke tanah berlumur darah.
Sementara di tempat lain seorang gembala ternak yang menyaksikan pertarungan tersebut dan melihat Rajo Babanding terluka parah tertembak senapan Nan Kongkong, segera menyampaikan kejadian ini kepada Sabai nan Aluih. Mendengar berita ini, Sabai sangat terkejut. Ternyata mimpinya menjadi kenyataan. Pada saat itu Mangkutak Alam adik Sabai datang. Kata Sabai, â€Å“Hai, Mangkutak. Mari kita ke Padang Panahunan, ayah kita terluka parah dan sudah meninggal karena tertembak senapan di dadanya.â€Å“ berkata Sabai kepada adiknya Mangkutak Alam.
â€Å“Oh, kak. Aku tak mau ikut, aku sungguh takut mati. Bukankah aku akan segera menikah.?” Jawab Mangkutak tidak perduli sama sekali dengan keadaan ayahnya.
â€Å“Percuma kau menjadi laki-laki. Kau sungguh pengecut! Bentak Sabai kepada adiknya sambil mengambil senapan di dalam kamar ayahnya. Kemudian iapun berlari ke Padang Panahunan untuk membalas kematian ayahnya yang terbunuh oleh Nan Kongkong pengawal Rajo nan Panjang. Mangkutak Alam hanya menatap saja, diam seribu bahasa memandang kepergian Sabai kakaknya.
Di tengah-tengah perjalanan di kaki bukit ilalang, Sabai berpapasan dengan Rajo nan Panjang dan pengawalnya.
â€Å“ha...ha...ha... Sabai! Kebetulan sekali. Aku ingin menjemputmu untuk aku lamar. Ternyata engkau dating sendiri!” kata Rajo nan Panjang.
â€Å“Hai, tua bangka yang tak tahu malu. Kau telah membunuh ayahku dengan cara pengecut! Dasar bedebah!”
â€Å“Lancang sekali mulutmu, Sabai. Kau akan menyesal seperti ayahmu nanti! Mati tertembak senapan ini!” sambil menepuk-nepuk senapan di tangannya.
â€Å“Oh... jadi kau telah membunuh ayahku yang tidak bersenjata itu. Sungguh kau manusia bedebah. Padahal ayahku tidak bersenjata, kau sungguh licik!” sambil mengarahkan senapannya ke wajah laki-laki itu. Dan bunyi senapan Sabaipun berdentam beberapa kali membuat tubuh laki-laki sombong, mata keranjang terjerambab ke tanah. Tewas seketika. Para pengawal Rajo nan Panjang setelah melihat majikannya tewas hanya terperangah. Beberapa saat kemudian Nan Kongkong mengajak temannya pergi sambil berucap, â€Å“Untuk apa membela orang yang sudah mati. Orang mati tentu tak bisa membayar kita.”



Minangkabau termasuk salah satu nagari (desa) yang berada di wilayah Kecamatan Sungayang, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatra Barat. Nagari ini dulunya masih berupa tanah lapang. Namun, tersebab oleh sebuah peristiwa, daerah itu dinamakan Nagari Minangkabau. Peristiwa apakah itu? Berikut kisahnya dalam cerita Asal Mula Nama Nagari Minangkabau.

Dahulu, di Sumatera Barat, tersebutlah sebuah kerajaan bernama Kerajaan Pagaruyung. Kerajaan itu dipimpin oleh seorang raja yang adil dan bijaksana. Rakyatnya senantiasa hidup aman, damai, dan tenteram. Suatu ketika, ketenteraman negeri itu terusik oleh adanya kabar buruk bahwa Kerajaan Majapahit dari Pulau Jawa akan menyerang mereka. Situasi tersebut tidak membuat para punggawa Kerajaan Pagaruyung gentar.
“Musuh pantang dicari, datang pantang ditolak. Kalau bisa dihindari, tapi kalau terdesak kita hadapi,” demikian semboyan para pemimpin Kerajaan Pagaruyung.

Suatu hari, pasukan Kerajaan Majapahit tiba di Kiliran Jao, sebuah daerah di dekat perbatasan Kerajaan Pagaruyung. Di tempat itu pasukan Kerajaan Majapahit mendirikan tenda-tenda sembari mengatur strategi penyerangan ke Kerajaan Pagaruyung. Menghadapi situasi genting itu, para pemimpin Pagaruyung pun segera mengadakan sidang.
“Negeri kita sedang terancam bahaya. Pasukan musuh sudah di depan mata. Bagaimana pendapat kalian?” tanya sang Raja yang memimpin sidang tersebut.
“Ampun, Paduka Raja. Kalau boleh hamba usul, sebaiknya kita hadapi mereka dengan pasukan berkuda dan pasukan gajah,” usul panglima perang kerajaan.
“Tunggu dulu! Kita tidak boleh gegabah,” sanggah Penasehat Raja, “Jika kita serang mereka dengan pasukan besar, pertempuran sengit pasti akan terjadi. Tentu saja peperangan ini akan menyengsarakan rakyat.”
Suasana sidang mulai memanas. Sang Raja yang bijaksana itu pun segera menenangkannya.
“Tenang, saudara-saudara!” ujar sang Raja, “Saya sepakat dengan pendapat Paman Penasehat. Tapi, apa usulan Paman agar peperangan ini tidak menelan korban jiwa?”
Pertanyaan sang Raja itu membuat seluruh peserta sidang terdiam. Suasana pun menjadi hening. Semua perhatian tertuju kepada Penasehat Raja itu, mereka tidak sabar lagi ingin mendengar pendapatnya. Beberapa saat kemudian, Penasehat Raja itu pun angkat bicara.
“Ampun, Paduka Raja. Untuk menghindari terjadinya pertumpahan darah, alangkah baiknya jika musuh kita ajak berunding. Kita sambut mereka di perbatasan kemudian berunding dengan mereka. Jika mereka menolak, barulah kita tantang mereka adu kerbau,” ungkap Penasehat Raja.
“Hmmm... ide yang bagus,” kata sang Raja, “Bagaimana pendapat kalian semua?”
“Setuju, Paduka Raja,” jawab seluruh peserta sidang serentak.
Selanjutnya, sang Raja bersama punggawanya pun menyusun strategi untuk mengalahkan musuh tanpa pertumpahan darah. Sang Raja segera memerintahkan kepada putri Datuk Tantejo Garhano untuk menghiasi anak-anak gadisnya dan dayang-dayang istana yang cantik dengan pakaian yang indah. Datuk Tantejo Garhano adalah seorang putri yang memiliki tata krama dan kelembutan. Sifat-sifat itu telah diajarkan oleh Datuk Tantejo Garhano kepada anak-anak gadisnya serta para dayang istana.
Setelah semua siap, Datuk Tantejo Garhano bersama anak-anak gadisnya serta dayang-dayang istana menuju ke perbatasan untuk menyambut kedatangan pasukan musuh. Mereka pun membawa berbagai macam makanan lezat untuk menjamu pasukan Majapahit. Sementara itu, dari kejauhan, pasukan Pagaruyung terlihat sedang berjaga-jaga untuk menjaga segala kemungkinan yang bisa terjadi.
Tak berapa lama setelah rombongan Datuk Tantejo Garhano tiba di perbatasan, pasukan musuh dari Majapahit pun sampai di tempat itu.
“Selamat datang, Tuan-Tuan yang budiman,” sambut Datuk Tantejo Garhano dengan sopan dan lembut. “Kami adalah utusan dari Kerajaan Pagaruyung. Raja kami sangat senang dengan kedatangan Tuan-Tuan di istana. Tapi sebelumnya, silakan dicicipi dulu hidangan yang telah kami sediakan! Tuan-Tuan tentu merasa lapar dan lelah setelah menempuh perjalanan jauh.”
Melihat perlakuan para wanita cantik itu, pasukan Majapahit menjadi terheran-heran. Mereka sebelumnya mengira bahwa kedatangan mereka akan disambut oleh pasukan bersenjata. Namun, di luar dugaan, ternyata mereka disambut oleh puluhan wanita-wanita cantik yang membawa hidangan lezat. Dengan kelembutan para wanita cantik tersebut, pasukan Majapahit pun mulai goyah untuk melancarkan serangan hingga akhirnya menerima tawaran itu.
Setelah pasukan Majapahit selesai menikmati hidangan dan beristirahat sejenak, Datuk Tantejo Garhano segera mengajak pemimpin mereka ke istana untuk menemui sang Raja.
“Mari, Tuan! Raja kami sedang menunggu Tuan di istana!” bujuk Datuk Tantejo Garhano dengan santun.
“Baiklah, saya akan segera menemui Raja kalian,” jawab pemimpin pasukan itu.
Setiba di istana, Datuk Tantejo Garhano langsung mengantar pemimpin pasukan itu masuk ke ruang sidang. Di sana, sang Raja bersama punggawanya terlihat sedang duduk menunggu.
“Selamat datang, Tuan,” sambut sang Raja, “Mari, silakan duduk!”
“Terima kasih, Paduka,” ucap pemimpin itu.
“Ada apa gerangan Tuan kemari?” tanya sang Raja pura-pura tidak tahu.
“Kami diutus oleh Raja Majapahit untuk menaklukkan Pagaruyung. Kami pun harus kembali membawa kemenangan,” jawab pemimpin itu.
“Oh, begitu,” jawab sang Raja sambil tersenyum, “Kami memahami tugas Tuan. Tapi, bagaimana kalau peperangan ini kita ganti dengan adu kerbau. Tujuannya adalah untuk menghindari pertumpahan darah di antara pasukan kita.”
Pemimpin pasukan Majapahit itu terdiam. Setelah berpikir sejenak, akhirnya ia pun menyetujui usulan sang Raja.
“Baiklah, Paduka Raja. Kami menerima tawaran Paduka,” jawab pemimpin itu.
Akhirnya, kedua belah pihak bersepakat untuk beradu kerbau. Jika kerbau milik sang Raja kalah, maka Kerajaan Pagaruyung dinyatakan takluk. Tapi, jika kerbau milik Majapahit kalah, mereka akan dibiarkan kembali ke Pulau Jawa dengan damai.
Dalam kesepakatan tersebut tidak ditentukan jenis maupun ukuran kerbau yang akan dijadikan aduan. Oleh karena ingin memenangi pertandingan tersebut, pasukan Majapahit pun memilih seekor kerbau yang paling besar, kuat, dan tangguh. Sementara itu, sang Raja memilih seekor anak kerbau yang masih menyusu. Namun, pada mulut anak kerbau itu dipasang besi runcing yang berbentuk kerucut. Sehari sebelum pertandingan itu dihelat, anak kerbau itu sengaja dibuat lapar dengan cara dipisahkan dari induknya.
Keesokan harinya, kedua kerbau aduan segera dibawa ke gelanggang di sebuah padang yang luas. Para penonton dari kedua belah pihak pun sedang berkumpul di pinggir arena untuk menyaksikan pertandingan yang akan berlangsung sengit tersebut. Kedua belah pihak pun bersorak-sorak untuk memberi dukungan pada kerbau aduan masing-masing.
“Ayo, kerbau kecil. Kalahkan kerbau besar itu!” teriak penonton dari pihak Pagaruyung.
Dukungan dari pihak pasukan Majapahit pun tak mau kalah.
“Ayo, kerbau besar. Cincang saja anak kerbau ingusan itu!”
Suasana di tanah lapang itu pun semakin ramai. Kedua kerbau aduan telah dibawa masuk ke dalam arena. Suasana pun berubah menjadi hening. Penonton dari kedua belah pihak terlihat tegang. Begitu kedua kerbau tersebut dilepas, kerbau milik Majapahit terlihat beringas dan liar. Sementara itu, anak kerbau milik Pagaruyung segera memburu hendak menyusu pada kerbau besar itu karena mengira induknya.
Tak ayal, perut kerbau milik Majapahit pun terluka terkena tusukan besi runcing yang terpasang di mulut anak kerbau milik Pagaruyung. Setelah beberapa kali tusukan, kerbau milik pasukan Majapahit akhirnya roboh dan terkapar di tanah. Melihat kejadian itu, penonton dari pihak Pagaruyung pun bersorak-sorak gembira.
“Manang kabau..., Manang kabau...,” demikian teriak mereka.
Akhirnya, pasukan Majapahit dinyatakan kalah dalam pertandingan tersebut. Mereka pun diizinkan kembali ke Majapahit dengan damai. Sementara itu, berita tentang kemenangan kerbau Pagarayung tersebar ke seluruh pelosok negeri. Kata “manang kabau” yang berarti menang kerbau pun menjadi pembicaraan di mana-mana. Lama-kelamaan, pengucapan kata “manang” berubah menjadi kata “minang”. Sejak itulah, tempat itu dinamakan Nagari Minangkabau, yaitu sebuah nagari (desa) yang bernama Minangkabau.
Sebagai upaya untuk mengenang peristiwa tersebut, penduduk negeri Pagaruyung merancang sebuah rumah rangkiang (loteng) yang atapnya menyerupai bentuk tanduk kerbau. Konon, rumah itu dibangun di perbatasan, tempat pasukan Majapahit dijamu oleh para wanita-wanita cantik Pagaruyung.
Asal Mula Nama Nagari Minangkabau
Kali ini, sambil menunggu surat edaran dan pengumuman waktu seleksi Paskibraka untuk kabupaten bekasi, brigadista akan menghantarkan sebuah cerita yang berasal dari daratan sumatera, tepatnya daerah sumatera barat. Sebuah cerita terbentuknya/asal mula Minangkabau (bukan tentang sejarah Paskibra/paskibraka Minangkabau).

Minangkabau atau yang biasa disingkat Minang adalah kelompok etnik Nusantara yang berbahasa dan menjunjung adat Minangkabau. Wilayah penganut kebudayaannya meliputi Sumatera Barat, separuh daratan Riau, bagian utara Bengkulu, bagian barat Jambi, bagian selatan Sumatera Utara, barat daya Aceh, dan juga Negeri Sembilan di Malaysia. Dalam percakapan awam, orang Minang seringkali disamakan sebagai orang Padang, merujuk kepada nama ibukota provinsi Sumatera Barat yaitu kota Padang. Namun, masyarakat ini biasanya akan menyebut kelompoknya dengan sebutan urang awak (bermaksud sama dengan orang Minang itu sendiri). (sumber: Wikipedia.org)
Minangkabau termasuk salah satu nagari (desa) yang berada di wilayah Kecamatan Sungayang, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatra Barat. Nagari ini dulunya masih berupa tanah lapang. Namun, tersebab oleh sebuah peristiwa, daerah itu dinamakan Nagari Minangkabau. Peristiwa apakah itu? Berikut kisahnya dalam cerita Asal Mula Nama Nagari Minangkabau.
Dahulu, di Sumatera Barat, tersebutlah sebuah kerajaan bernama Kerajaan Pagaruyung. Kerajaan itu dipimpin oleh seorang raja yang adil dan bijaksana. Rakyatnya senantiasa hidup aman, damai, dan tenteram. Suatu ketika, ketenteraman negeri itu terusik oleh adanya kabar buruk bahwa Kerajaan Majapahit dari Pulau Jawa akan menyerang mereka. Situasi tersebut tidak membuat para punggawa Kerajaan Pagaruyung gentar.
“Musuh pantang dicari, datang pantang ditolak. Kalau bisa dihindari, tapi kalau terdesak kita hadapi,” demikian semboyan para pemimpin Kerajaan Pagaruyung.
Suatu hari, pasukan Kerajaan Majapahit tiba di Kiliran Jao, sebuah daerah di dekat perbatasan Kerajaan Pagaruyung. Di tempat itu pasukan Kerajaan Majapahit mendirikan tenda-tenda sembari mengatur strategi penyerangan ke Kerajaan Pagaruyung. Menghadapi situasi genting itu, para pemimpin Pagaruyung pun segera mengadakan sidang.
“Negeri kita sedang terancam bahaya. Pasukan musuh sudah di depan mata. Bagaimana pendapat kalian?” tanya sang Raja yang memimpin sidang tersebut.
“Ampun, Paduka Raja. Kalau boleh hamba usul, sebaiknya kita hadapi mereka dengan pasukan berkuda dan pasukan gajah,” usul panglima perang kerajaan.
“Tunggu dulu! Kita tidak boleh gegabah,” sanggah Penasehat Raja, “Jika kita serang mereka dengan pasukan besar, pertempuran sengit pasti akan terjadi. Tentu saja peperangan ini akan menyengsarakan rakyat.”
Suasana sidang mulai memanas. Sang Raja yang bijaksana itu pun segera menenangkannya.
“Tenang, saudara-saudara!” ujar sang Raja, “Saya sepakat dengan pendapat Paman Penasehat. Tapi, apa usulan Paman agar peperangan ini tidak menelan korban jiwa?”
Pertanyaan sang Raja itu membuat seluruh peserta sidang terdiam. Suasana pun menjadi hening. Semua perhatian tertuju kepada Penasehat Raja itu, mereka tidak sabar lagi ingin mendengar pendapatnya. Beberapa saat kemudian, Penasehat Raja itu pun angkat bicara.
“Ampun, Paduka Raja. Untuk menghindari terjadinya pertumpahan darah, alangkah baiknya jika musuh kita ajak berunding. Kita sambut mereka di perbatasan kemudian berunding dengan mereka. Jika mereka menolak, barulah kita tantang mereka adu kerbau,” ungkap Penasehat Raja.
“Hmmm... ide yang bagus,” kata sang Raja, “Bagaimana pendapat kalian semua?”
“Setuju, Paduka Raja,” jawab seluruh peserta sidang serentak.
Selanjutnya, sang Raja bersama punggawanya pun menyusun strategi untuk mengalahkan musuh tanpa pertumpahan darah. Sang Raja segera memerintahkan kepada putri Datuk Tantejo Garhano untuk menghiasi anak-anak gadisnya dan dayang-dayang istana yang cantik dengan pakaian yang indah. Datuk Tantejo Garhano adalah seorang putri yang memiliki tata krama dan kelembutan. Sifat-sifat itu telah diajarkan oleh Datuk Tantejo Garhano kepada anak-anak gadisnya serta para dayang istana.
Setelah semua siap, Datuk Tantejo Garhano bersama anak-anak gadisnya serta dayang-dayang istana menuju ke perbatasan untuk menyambut kedatangan pasukan musuh. Mereka pun membawa berbagai macam makanan lezat untuk menjamu pasukan Majapahit. Sementara itu, dari kejauhan, pasukan Pagaruyung terlihat sedang berjaga-jaga untuk menjaga segala kemungkinan yang bisa terjadi.
Tak berapa lama setelah rombongan Datuk Tantejo Garhano tiba di perbatasan, pasukan musuh dari Majapahit pun sampai di tempat itu.
“Selamat datang, Tuan-Tuan yang budiman,” sambut Datuk Tantejo Garhano dengan sopan dan lembut. “Kami adalah utusan dari Kerajaan Pagaruyung. Raja kami sangat senang dengan kedatangan Tuan-Tuan di istana. Tapi sebelumnya, silakan dicicipi dulu hidangan yang telah kami sediakan! Tuan-Tuan tentu merasa lapar dan lelah setelah menempuh perjalanan jauh.”
Melihat perlakuan para wanita cantik itu, pasukan Majapahit menjadi terheran-heran. Mereka sebelumnya mengira bahwa kedatangan mereka akan disambut oleh pasukan bersenjata. Namun, di luar dugaan, ternyata mereka disambut oleh puluhan wanita-wanita cantik yang membawa hidangan lezat. Dengan kelembutan para wanita cantik tersebut, pasukan Majapahit pun mulai goyah untuk melancarkan serangan hingga akhirnya menerima tawaran itu.
Setelah pasukan Majapahit selesai menikmati hidangan dan beristirahat sejenak, Datuk Tantejo Garhano segera mengajak pemimpin mereka ke istana untuk menemui sang Raja.
“Mari, Tuan! Raja kami sedang menunggu Tuan di istana!” bujuk Datuk Tantejo Garhano dengan santun.
“Baiklah, saya akan segera menemui Raja kalian,” jawab pemimpin pasukan itu.
Setiba di istana, Datuk Tantejo Garhano langsung mengantar pemimpin pasukan itu masuk ke ruang sidang. Di sana, sang Raja bersama punggawanya terlihat sedang duduk menunggu.
“Selamat datang, Tuan,” sambut sang Raja, “Mari, silakan duduk!”
“Terima kasih, Paduka,” ucap pemimpin itu.
“Ada apa gerangan Tuan kemari?” tanya sang Raja pura-pura tidak tahu.
“Kami diutus oleh Raja Majapahit untuk menaklukkan Pagaruyung. Kami pun harus kembali membawa kemenangan,” jawab pemimpin itu.
“Oh, begitu,” jawab sang Raja sambil tersenyum, “Kami memahami tugas Tuan. Tapi, bagaimana kalau peperangan ini kita ganti dengan adu kerbau. Tujuannya adalah untuk menghindari pertumpahan darah di antara pasukan kita.”
Pemimpin pasukan Majapahit itu terdiam. Setelah berpikir sejenak, akhirnya ia pun menyetujui usulan sang Raja.
“Baiklah, Paduka Raja. Kami menerima tawaran Paduka,” jawab pemimpin itu.
Akhirnya, kedua belah pihak bersepakat untuk beradu kerbau. Jika kerbau milik sang Raja kalah, maka Kerajaan Pagaruyung dinyatakan takluk. Tapi, jika kerbau milik Majapahit kalah, mereka akan dibiarkan kembali ke Pulau Jawa dengan damai.
Dalam kesepakatan tersebut tidak ditentukan jenis maupun ukuran kerbau yang akan dijadikan aduan. Oleh karena ingin memenangi pertandingan tersebut, pasukan Majapahit pun memilih seekor kerbau yang paling besar, kuat, dan tangguh. Sementara itu, sang Raja memilih seekor anak kerbau yang masih menyusu. Namun, pada mulut anak kerbau itu dipasang besi runcing yang berbentuk kerucut. Sehari sebelum pertandingan itu dihelat, anak kerbau itu sengaja dibuat lapar dengan cara dipisahkan dari induknya.
Keesokan harinya, kedua kerbau aduan segera dibawa ke gelanggang di sebuah padang yang luas. Para penonton dari kedua belah pihak pun sedang berkumpul di pinggir arena untuk menyaksikan pertandingan yang akan berlangsung sengit tersebut. Kedua belah pihak pun bersorak-sorak untuk memberi dukungan pada kerbau aduan masing-masing.
“Ayo, kerbau kecil. Kalahkan kerbau besar itu!” teriak penonton dari pihak Pagaruyung.
Dukungan dari pihak pasukan Majapahit pun tak mau kalah.
“Ayo, kerbau besar. Cincang saja anak kerbau ingusan itu!”
Suasana di tanah lapang itu pun semakin ramai. Kedua kerbau aduan telah dibawa masuk ke dalam arena. Suasana pun berubah menjadi hening. Penonton dari kedua belah pihak terlihat tegang. Begitu kedua kerbau tersebut dilepas, kerbau milik Majapahit terlihat beringas dan liar. Sementara itu, anak kerbau milik Pagaruyung segera memburu hendak menyusu pada kerbau besar itu karena mengira induknya.
Tak ayal, perut kerbau milik Majapahit pun terluka terkena tusukan besi runcing yang terpasang di mulut anak kerbau milik Pagaruyung. Setelah beberapa kali tusukan, kerbau milik pasukan Majapahit akhirnya roboh dan terkapar di tanah. Melihat kejadian itu, penonton dari pihak Pagaruyung pun bersorak-sorak gembira.
“Manang kabau..., Manang kabau...,” demikian teriak mereka.
Akhirnya, pasukan Majapahit dinyatakan kalah dalam pertandingan tersebut. Mereka pun diizinkan kembali ke Majapahit dengan damai. Sementara itu, berita tentang kemenangan kerbau Pagarayung tersebar ke seluruh pelosok negeri. Kata “manang kabau” yang berarti menang kerbau pun menjadi pembicaraan di mana-mana. Lama-kelamaan, pengucapan kata “manang” berubah menjadi kata “minang”. Sejak itulah, tempat itu dinamakan Nagari Minangkabau, yaitu sebuah nagari (desa) yang bernama Minangkabau.
Sebagai upaya untuk mengenang peristiwa tersebut, penduduk negeri Pagaruyung merancang sebuah rumah rangkiang (loteng) yang atapnya menyerupai bentuk tanduk kerbau. Konon, rumah itu dibangun di perbatasan, tempat pasukan Majapahit dijamu oleh para wanita-wanita cantik Pagaruyung.


Alkisah, di sebuah daerah di Sumatra Barat ada sebuah gunung berapi yang amat tinggi bernama Gunung Tinjau. Di puncaknya terdapat sebuah kawah yang luas, dan di kakinya terdapat beberapa perkampungan. Penduduknya hidup makmur dan sejahtera, karena mereka sangat rajin bertani. Di samping itu, tanah yang ada di sekitar Gunung Tinjau amat subur, karena sering mendapat pupuk alami berupa abu gunung.

Di salah satu perkampungan di kaki Gunung Tinjau itu tinggal sepuluh orang bersaudara yang terdiri dari sembilan lelaki dan seorang perempuan. Penduduk sekitar biasa memanggil mereka Bujang Sembilan. Kesepuluh orang bersaudara tersebut adalah Kukuban, Kudun, Bayua, Malintang, Galapuang, Balok, Batang, Bayang, dan lelaki termuda bernama Kaciak. Sementara adik mereka yang paling bungsu adalah seorang perempuan bernama Siti Rasani, akrab dipanggil Sani. Kedua orangtua mereka sudah lama meninggal, sehingga Kukuban sebagai anak sulung menjadi kepala rumah tangga. Semua keputusan ada di tangannya.

Kesepuluh bersaudara tersebut tinggal di sebuah rumah peninggalan kedua orangtua mereka. Untuk memenuhi kebutuhannya, mereka menggarap lahan pertanian yang cukup luas warisan kedua orangtua mereka. Mereka sangat terampil bertani, karena mereka rajin membantu ayah dan ibunya ketika keduanya masih hidup. Di samping itu, mereka juga dibimbing oleh paman mereka yang bernama Datuk Limbatang, yang akrab mereka panggil Engku.

Datuk Limbatang adalah seorang mamak di kampung itu dan mempunyai seorang putra yang bernama Giran. Sebagai mamak, Datuk Limbatang memiliki tanggungjawab besar untuk mendidik dan memerhatikan kehidupan warganya, termasuk kesepuluh orang kemenakannya tersebut. Untuk itu, setiap dua hari sekali, ia berkunjung ke rumah Kukuban bersaudara untuk mengajari mereka keterampilan bertani dan berbagai tata cara adat daerah itu. Tak jarang pula Datuk Limbatang mengajak istri dan putranya ikut serta bersamanya.

Pada suatu hari, ketika Datuk Limbatang bersama istri dan Giran berkunjung ke rumah Bujang Sembilan, secara tidak sengaja Sani saling berpandangan dengan Giran. Rupanya, kedua pemuda dan gadis itu sama-sama menaruh hati. Giran pun mengajak Sani untuk bertemu di sebuah ladang di pinggir sungai. Dengan hati berdebar, Giran pun mengungkapkan perasaannya kepada Sani.

“Sudah lama merendam selasih
Barulah kini mau mengembang
Sudah lama kupendam kasih
Barulah kini bertemu pandang”

“Telah lama orang menekat
Membuat baju kebaya lebar
Sudah lama abang terpikat
Hendak bertemu dada berdebar”

“Rupa elok perangaipun cantik
Hidupnya suka berbuat baik
Orang memuji hilir dan mudik
Siapa melihat hati tertarik”

“Dik, Sani! Wajahmu cantik nan elok, perangai baik nan berhati lembut. Maukah engkau menjadi kekasih Abang?” tanya Giran.

Pertanyaan itu membuat jantung Sani berdetak kencang. Dalam hatinya, ia juga suka kepada Giran. Maka ia pun membalasnya dengan untaian pantun.

“Buah nangka dari seberang
Sedap sekali dibuat sayur
Sudah lama ku nanti abang
Barulah kini dapat menegur”

“Jika roboh kota Melaka
Papan di Jawa saya tegakkan
Jika sungguh Kanda berkata
Badan dan nyawa saya serahkan”

Alangkah senang hati Giran mendengar jawaban dari Sani. Ia benar-benar merasa bahagia karena cintahnya bersambut.

Maka sejak itu, Giran dan Sani menjalin hubungan kasih. Pada mulanya, keduanya berniat untuk menyembunyikan hubungan mereka. Namun karena khawatir akan menimbulkan fitnah, akhirnya keduanya pun berterus terang kepada keluarga mereka masing-masing. Mengetahui hal itu, keluarga Giran dan Sani pun merasa senang dan bahagia, karenahal tersebut dapat mempererat hubungan kekeluargaan mereka. Sejak menjalin hubungan dengan Sani, Giran seringkali berkunjung ke rumah Bujang Sembilan. Bahkan, ia sering membantu Bujang Sembilan bekerja di sawah.

Ketika musim panen tiba, semua penduduk kampung memperoleh hasil yang melimpah. Untuk merayakan keberhasilan tersebut, para pemuka adat dan seluruh penduduk bersepakat untuk mengadakan gelanggang perhelatan, yaitu adu ketangkasan bermain silat. Para pemuda kampung menyambut gembira acara tersebut. Dengan semangat berapi-api, mereka segera mendaftarkan diri kepada panitia acara. Tidak ketinggalan pula Kukuban dan Giran turut ambil bagian dalam acara tersebut.

Pada hari yang telah ditentukan, seluruh peserta berkumpul di sebuah tanah lapang. Sorak sorai penonton pun terdengar mendukung jagoannya masing-masing. Beberapa saat kemudian, panitia segera memukul gong pertanda acara dimulai. Rupanya, Kukuban mendapat giliran pertama tampil bersama seorang lawannya dari dusun tetangga. Tampak keduanya saling berhadap-hadapan di tengah arena untuk saling adu ketangkasan. Siapa pun yang menang dalam pertarungan itu, maka dia akan melawan peserta berikutnya. Ternyata, Kukuban berhasil mengalahkan lawannya. Setelah itu, peserta berikutnya satu per satu masuk ke arena gelanggang perhelatan untuk melawan Kukuban, namun belum seorang pun yang mampu mengalahkannya. Masih tersisa satu peserta lagi yang belum maju, yakni si Giran. Kini, Kukuban menghadapi lawan yang seimbang.

“Hai, Giran! Majulah kalau berani!” tantang Kukuban.

“Baiklah, Bang! Bersiap-siaplah menerima seranganku!” jawab Giran dan langsung menyerang Kukuban.

Maka terjadilah pertarungan sengit antara Giran dan Kukuban. Mulanya, Giran melakukan serangan secara bertubi-tubi ke arah Kububan, namun semua serangannya mampu dielakkan oleh Kukubun. Beberapa saat kemudian, keadaan jadi terbalik. Kukuban yang balik menyerang. Ia terus menyerang Giran dengan jurus-jurus andalannya secara bertubi-tubi. Giran pun terdesak dan kesulitan menghindari serangannya. Pada saat yang tepat, Kukuban melayangkan sebuah tendangan keras kaki kirinya ke arah Giran. Giran yang tidak mampu lagi menghindar, terpaksa menangkisnya dengan kedua tangannya.

“Aduh, sakit…! Kakiku patah!” pekik Kukuban dan langsung berguling di tanah sambil menjerit kesakitan.

Rupanya, tangkisan Giran itu membuat kaki kirinya patah. Ia pun tidak mampu lagi melanjutkan pertandingan dan dinyatakan kalah dalam gelanggang tersebut. Sejak itu, Kukuban merasa kesal dan dendam terhadap Giran karena merasa telah dipermalukan di depan umum. Namun, dendam tersebut dipendamnya dalam hati.

Beberapa bulan kemudian, dendam Kukuban yang dipendam dalam hati itu akhirnya terungkap juga. Hal itu bermula ketika suatu malam, yakni ketika cahaya purnama menerangi perkampungan sekitar Gunung Tinjau, Datuk Limbatang bersama istrinya berkunjung ke rumah Bujang Sembilan. Kedatangan orangtua Giran tersebut bukan untuk mengajari mereka cara bercocok tanam atau tata cara adat, melainkan ingin menyampaikan pinangan Giran kepada Sani.

“Maaf, Bujang Sembilan! Maksud kedatangan kami kemari ingin lebih mempererat hubungan kekeluargaan kita,” ungkap Datuk Limbatang.

“Apa maksud, Engku?” tanya si Kudun bingung.

“Iya, Engku! Bukankah hubungan kekeluargaan kita selama ini baik-baik saja?” sambung Kaciak.

“Memang benar yang kamu katakan itu, Anakku,” jawab Datuk Limbatang yang sudah menganggap Bujang Sembilan seperti anaknya sendiri.

“Begini, Anak-anakku! Untuk semakin mengeratkan hubungan keluarga kita, kami bermaksud menikahkan Giran dengan adik bungsu kalian, Siti Rasani,” ungkap Datuk Limbatang.

“Pada dasarnya, kami juga merasakan hal yang sama, Engku! Kami merasa senang jika Giran menikah dengan adik kami. Giran adalah pemuda yang baik dan rajin,” sambut si Kudun.

Namun, baru saja kalimat itu lepas dari mulut si Kudun, tiba-tiba terdengar suara bentakan yang sangat keras dari Kukuban.

“Tidak! Aku tidak setuju dengan pernikahan mereka! Aku tahu siapa Giran,” seru Kukuban dengan wajah memerah.

“Dia pemuda sombong, tidak tahu sopan santun dan kurang ajar. Dia tidak pantas menjadi suami Sani,” tambahnya.

“Mengapa kamu berkata begitu, Anakku? Adakah perkataan atau perilakunya yang pernah menyinggung perasaanmu?” tanya Datuk Limbatang dengan tenang.

“Ada, Engku! Masih ingatkah tindakan Giran terhadapku di gelanggang perhelatan beberapa bulan yang lalu? Dia telah mematahkan kaki kiriku dan sampai sekarang masih ada bekasnya,” jawab Kukuban sambil menyingsingkan celana panjangnya untuk memperlihatkan bekas kakinya yang patah.

“Oooh, itu!” jawab Datuk Limbatang singkat sambil tersenyum.

“Soal kaki terkilir dan kaki patah, kalah ataupun menang dalam gelanggan itu hal biasa. Memang begitu kalau bertarung,” ujar Datuk Limbatang.

“Tapi, Engku! Anak Engku telah mempermalukanku di depan orang banyak,” sambut Kukuban.

“Aku kira Giran tidak bermaksud mempermalukan saudaranya sendiri,” kata Datuk Limbatang.

“Ah, itu kata Engku, karena ingin membela anak sendiri! Di mana keadilan Engku sebagai pemimpin adat?” bantah Kukuban sambil menghempaskan tangannya ke lantai.

Semua yang ada dalam pertemuan itu terdiam. Kedelapan saudaranya tak satu pun yang berani angkat bicara. Suasana pun menjadi hening dan tegang. Kecuali Datuk Limbatang, yang terlihat tenang.

“Maaf, Anakku! Aku tidak membela siapa pun. Aku hanya mengatakan kebenaran. Keadilan harus didasarkan pada kebenaran,” ujar Datuk Limbatang.

“Kebenaran apalagi yang Engku maksud. Bukankah Giran telah nyata-nyata mencoreng mukaku di tengah keramaian?”

“Ketahuilah, Anakku! Menurut kesaksian banyak orang yang melihat peristiwa itu, kamu sendiri yang menyerang Giran yang terdesak dengan sebuah tendangan keras, lalu ditangkis oleh Giran. Tangkisan itulah yang membuat kakimu patah. Apakah menurutmu menangkis serangan itu perbuatan curang dan salah?” tanya Datuk Limbatang.

Kukuban hanya terdiam mendengar pertanyaan itu. Walaupun dalam hatinya mengakui bahwa apa yang dikatakan Datuk Limbatang adalah benar, tetapi karena hatinya sudah diselimuti perasaan dendam, ia tetap tidak mau menerimanya.

“Terserah Engku kalau tetap mau membela anak sendiri. Tapi, Sani adalah adik kami. Aku tidak akan menikahkan Sani dengan anak Engku,” kata Kukuban dengan ketus.

“Baiklah, Anakku! Aku juga tidak akan memaksamu. Tapi, kami berharap semoga suatu hari nanti keputusan ini dapat berubah,” kata Datuk Limbatang seraya berpamitan pulang ke rumah bersama istrinya.

Rupanya, Siti Rasani yang berada di dalam kamar mendengar semua pembicaraan mereka. Ia sangat bersedih mendengar putusan kakak sulungnya itu. Baginya, Giran adalah calon suami yang ia idam-idamkan selama ini. Sejak kejadian itu, Sani selalu terlihat murung. Hampir setiap hari ia duduk termenung memikirkan jalah keluar bagi masalah yang dihadapinya. Begitupula si Giran, memikirkan hal yang sama. Berhari-hari kedua pasangan kekasih itu berpikir, namun belum juga menemukan jalan keluar. Akhirnya, keduanya pun sepakat bertemu di tempat biasanya, yakni di sebuah ladang di tepi sungai, untuk merundingkan masalah yang sedang mereka hadapi.

“Apa yang harus kita lakukan, Dik?” tanya Giran.

“Entahlah, Bang! Adik juga tidak tahu harus berbuat apa. Semua keputusan dalam keluarga Adik ada di tangan Bang Kukuban. Sementara dia sangat benci dan dendam kepada Abang,” jawab Sani sambil menghela nafas panjang.

Beberapa lama mereka berunding di tepi sungai itu, namun belum juga menemukan jalan keluar. Dengan perasaan kalut, Sani beranjak dari tempat duduknya. Tiba-tiba sepotong ranting berduri tersangkut pada sarungnya.

“Aduh, sarungku sobek!” teriak Sani kaget.

“Wah, sepertinya pahamu tergores duri. Duduklah Adik, Abang akan mengobati lukamu itu!” ujar Giran.

Giran pun segera mencari daun obat-obatan di sekitarnya dan meramunya. Setelah itu, ia membersihkan darah yang keluar dari paha Sani, lalu mengobati lukanya. Pada saat itulah, tiba-tiba puluhan orang keluar dari balik pepohonan dan segera mengurung keduanya. Mereka adalah Bujang Sembilan bersama beberapa warga lainnya.



“Hei, rupanya kalian di sini!” seru Kukuban.

Giran dan Sani pun tidak tahu harus berbuat apa. Keduanya benar-benar tidak menyangka jika ada puluhan orang sedang mengintai gerak-gerik mereka.

“Tangkap mereka! Kita bawa mereka ke sidang adat!” perintah Kukuban.

“Ampun, Bang! Kami tidak melakukan apa-apa. Saya hanya mengobati luka Sani yang terkena duri,” kata Giran.

“Dasar pembohong! Aku melihat sendiri kamu mengusap-usap paha adikku!” bentak Kukuban.

“Iya benar! Kalian telah melakukan perbuatan terlarang. Kalian harus dibawa ke sidang adat untuk dihukum,” sambung seorang warga.

Akhirnya, Giran dan Sani digiring ke kampung menuju ke ruang persidangan. Kukuban bersama kedelapan saudaranya dan beberapa warga lainnya memberi kesaksian bahwa mereka melihat sendiri perbuatan terlarang yang dilakukan oleh Giran dan Sani. Meskipun Giran dan Sani telah melakukan pembelaan dan dibantu oleh Datuk Limbatang, namun persidangan memutuskan bahwa keduanya bersalah telah melanggar adat yang berlaku di kampung itu. Perbuatan mereka sangat memalukan dan dapat membawa sial. Maka sebagai hukumannya, keduanya harus dibuang ke kawah Gunung Tinjau agar kampung tersebut terhindar dari malapetaka.

Keputusan itu pun diumumkan ke seluruh penjuru kampung di sekitar Gunung Tinjau. Setelah itu, Giran dan Sani diarak menuju ke puncak Gunung Tinjau dengan tangan terikat di belakang. Sesampainya di pinggir kawah, mata mereka ditutup dengan kain hitam. Sebelum hukuman dilaksanakan, mereka diberi kesempatan untuk berbicara.

“Wahai kalian semua, ketahuilah! Kami tidak melakukan perbuatan terlarang apa pun. Karena itu, kami yakin tidak bersalah,” ucap Giran.

Setelah itu, Giran menengadahkan kedua tanganya ke langit sambil berdoa.

“Ya Tuhan! Mohon dengar dan kabulkan doa kami. Jika kami memang benar-benar bersalah, hancurkanlah tubuh kami di dalam air kawah gunung yang panas ini. Akan tetapi, jika kami tidak bersalah, letuskanlah gunung ini dan kutuk Bujang Sembilan menjadi ikan!”

Usai memanjatkan doa, Giran dan Sani segera melompat ke dalam kawah. Keduanya pun tenggelam di dalam air kawah. Sebagian orang yang menyaksikan peristiwa itu diliputi oleh rasa tegang dan cemas. Jika Giran benar-benar tidak bersalah dan doanya dikabulkan, maka mereka semua akan binasa. Ternyata benar. Permohonan Giran dikabulkan oleh Tuhan. Beberapa saat berselang, gunung itu tiba-tiba bergetar dan diikuti letusan yang sangat keras. Lahar panas pun menyembur keluar dari dalam kawah, mengalir menuju ke perkampungan dan menghancurkan semua yang dilewatinya. Semua orang berusaha untuk menyelamatkan diri. Namun, naas nasib mereka. Letusan Gunung Tinjau semakin dahsyat hingga gunung itu luluh lantak. Tak seorang pun yang selamat. Bujang Sembilan pun menjelma menjadi ikan.

Demikian cerita Asal Usul Danau Maninjau dari Agam, Sumatra Barat, Indonesia. Konon, letusan Gunung Tinjau itu menyisakan kawah yang luas dan lama-kelamaan berubah menjadi danau. Oleh masyarakat sekitar, nama gunung itu kemudian diabadikan menjadi nama danau, yakni Danau Maninjau. Sementara nama-nama tokoh yang terlibat dalam peristiwa itu diabadikan menjadi nama nagari di sekitar Danau Maninjau, seperti Tanjung Sani, Sikudun, Bayua, Koto Malintang, Koto Kaciak, Sigalapuang, Balok, Kukuban, dan Sungai Batang.

Cerita di atas termasuk kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik, yaitu akibat buruk yang ditimbulkan oleh sifat dendam. Dendam telah menjadikan Kukuban tega menfitnah Giran dan Sani telah melakukan perbuatan terlarang. Dari hal ini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa sifat dendam dapat mendorong seseorang berbuat aniaya terhadap orang lain, demi membalaskan dendamnya. Dalam kehidupan orang Melayu, sifat dendam ini sangat dipantangkan. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:

siapa tak tahu kesalahan sendiri,
lambat laun hidupnya keji
kalau suka berdendam kesumat,
alamat hidup akan melarat


Dahulu kala disebuah daerah hiduplah seorang pria tua yang bernama Angku Pangilun. Angku Pangilun tinggal di lereng sebuah perbukitan bersama beberapa anjing peliharaannya. Angku Pangilun ini adalah orang yang sangat dihormati dan disegani di desa karena kesaktiannya. Kesaktian Angku Pangilun tidak hanya menjadi buah bibir di desa saja, tetapi juga di berbagai daerah. Banyak penduduk desa dan penduduk dari daerah lain yang berguru kepadanya atau sekedar meminta pertolongan kepadanya.

Kesaktian yang dimiliki oleh Angku Pangilun sangat banyak. Orang-orang dari berbagai pelosok daerah sering meminta bantuannya untuk berbagai keperluan. Kebanyakan dari mereka pergi menemui Angku Pangilun untuk berobat. Mereka percaya bahwa paureh (ramuan) yang telah dimantrai oleh Angku Pangilun berkhasiat mengobati penyakit. Selain itu, Angku Pangilun juga sering dipanggil untuk menjadi pawang binatang buas yang sering menyerang desa. Tak jarang pula ia dimintai untuk membuatkan Paureh Padi (Ramuan Padi). Paureh Padi ini adalah ramuan yang dibuat agar padi yang ditanam tumbuh subur dan terhindar dari hama.

Di akhir hayatnya Angku Pangilun masih mendapatkan penghargaan yang tinggi dari masyarakat. Penduduk desa dan orang-orang yang menghormatinya sepakat untuk menguburkan jasadnya di puncak tertinggi dari bukit tempat ia tinggal. Puncak tersebut kemudian terkenal dengan nama “Puncak Tampat” atau Puncak Keramat. Untuk menghormati dan mengenang jasa Angku Pangilun yang telah banyak menolong, penduduk desa lalu menamai bukit itu dengan nama “Gunung Pangilun”, dan daerah sekitar juga dikenal dengan nama yang sama.

Di ceritakan informan, sewaktu ia masih kecil banyak orang berziarah ke kuburan Angku Pangilun. Tujuan mereka berziarah anatara lain untuk berdoa agar tanaman padi mereka terhindar dari hama penyakit. Bahan-bahan yang mereka bawa ke Puncak Tampat adalah Paureh Padi yang terdiri atas air sumur yang di dalamnya ditambahkan bunga tujuh rupa dan beberapa potong asam kapeh. Selain membawa paureh padi, mereka juga membawa semacam sesaji berupa 2 gengggam beras, lapek, dan abu tungku rang marando. Lapek adalah makanan ringan yang dibungkus daun pisang, lapek ini ada berbagai macam, ada lapek pisang, lapek sagu, lapek sagan, lapek parancih,dll. Sedangkan abu tungku rang marando adalah abu tungku yang berasal dari rumah yang di dalamnya tinggal seorang janda.

Diceritakan lagi oleh informan, bahwa pada zaman penjajahan Jepang dulu pernah terjadi peristiwa gaib di Puncak Tampat (Kuburan Angku Pangilun). Pada suatu hari ada sebuah pesawat Jepang yang oleng dan hampir jatuh tepat di atas kuburan Angku Pangilun. Karena keramatnya, pesawat yang seharusnya jatuh menimpa kuburan justru malantiang atau menyimpang jauh arah jatuhnya sehingga kuburan tersebut aman.

Hingga kini, cerita ini menjadi legenda karena dipercaya oleh sebagian orang. Umumnya pihak yang percaya adalah orang-orang tua yang tahu dengan cerita Angku Pangilun. Selain mendapat cerita dari mulut ke mulut, di puncak bukit (puncak Tampat) memang terdapat bukti berupa kuburan yang panjangnya kira-kira 3 meter. yang menurut informan adalah ,akam Angku Pangilun walaupun belum jelas keasliannya.

Comments