Danau para Arwa - legenda danau kelimutu

cerita daerah ende flores, cerita legenda danau kelimutu, ceri danau kelimut, danau arwah, cerita danau arwah, cerita daerah nusa tenggara timur


Begitu kayanya legenda dan pesona magis Kelimutu, membuat yang orang pernah datang ingin selalu kembali ke sana. Lahirnya mitos tentang nama Kelimutu telah mendunia sejak tiga abad lalu, di masa pendudukan kolonial Belanda di nusantara. Meskipun tak banyak, ada saja orang Belanda dan Eropa yang mengunjungi Kelimutu. Pesona Kelimutu terletak pada tiga danau warna yang menghuni kawah gunung setinggi 1600 m ini. Ketiga danau ini memiliki warna yang berbeda, dan selalu berubah secara berkala. Menurut 'Usmar Baharmin', lelaki yang sudah puluhan tahun bekerja di Pos Pengamatan Gunung Api Kelimutu, di tahun 1960-an, warna itu adalah putih, hijau, dan biru. Ketika di awal 1990-an, warnanya menjadi hitam, hijau terang dan merah kecoklatan.

Namun kini sudah menjadi hitam, hijau kebiruan, dan biru kehitaman. Perubahan warna ini diperkirakan terjadi karena perubahan kandungan mineral yang terdapat di dalam danau. Namun dia tak bisa menyebutkan mineral apa saja itu, karena penelitian tentang hal itu masih terbatas. Menurutnya, pernah ada dua orang asing mencoba meneliti air danau dengan menurunkan sebuah perahu ke danau di kedalaman sekitar 50 m. Namun keduanya raib entah kemana. Penjelasan 'Baharmin' mungkin bisa memuaskan keingintahuan wisatawan. Namun tidak bagi penduduk setempat karena bagi penduduk setempat banyak kisah misteri yang menyelimuti kehidupan danau kelimutu.

Mereka lalu mencari jawab keajaiban Kelimutu sejak berabad lalu, jauh sebelum ilmu pengetahuan berkembang, dan melahirkan aneka mitos dan legenda yang unik dan menawan. Sebuah legenda yang mereka percayai adalah Kelimutu sebagai danau para arwah. Menurut masyarakat adat Ko’anara penduduk asli yang menghuni desa-desa di kawasan Gunung Kelimutu-ada tiga jenis arwah orang mati. Yaitu arwah mereka yang berbuat kebaikan di dunia, arwah para pendosa dan penjahat, serta arwah anak-anak dan remaja yang masih bisa mendapatkan pengampunan di akhirat. Ketiga jenis arwah ini menempati tiga danau di kawah Kelimutu. Danau hitam dihuni oleh arwah para pendosa, danau hijau untuk arwah anak-anak, dan danau merah untuk arwah orang suci. Sebelum menuju surga atau neraka, arwah ini akan menunggu di ketiga danau. Untuk menguatkan legenda yang ada, penduduk lalu mencari penjelasan logis dengan menghubungkan peristiwa yang terjadi di sekelilingnya. Dalam pemikiran Barnabas, pria yang tinggal disekitar lokasi, “Danau putih itu berubah menjadi hitam saat terjadi pemberontakan PKI tahun 1965, karena banyak orang jahat yang dibunuh,” kisahnya. Dia juga menghubungkan perubahan warna danau hijau menjadi merah saat terjadi pembunuhan massa PDI tahun 1996 lalu, ketika banyak orang tak berdosa menjadi korban. Beberapa waktu yang lalu, masyarakat sengaja membuat papan yang bertuliskan;

Jangan mengambil sesuatu kecuali gambar (Indonesia)
mae medi mai rewo ta menga gambar foto (Lio)
dont take anything axcept picture (Inggris)

Jangan membunuh sesuatu kecuali waktu (Indonesia)
mae tau mata rewo ta menga nala/hibu (Lio)
dont kill anything axcept time (Inggris)

Jangan meninggalkan sesuatu kecuali jejak (Indonesia)
mae welu tau rewo ta menga lae/ola (Lio)
dont leave anything axcept step (Inggris)

Tulisan ini dimaksudkan untuk menjaga keselamatan para wisatawan.

Ko'anara..
Bagi orang-orang Ko’anara, Legenda Kelimutu tak lepas dari keberadaan Desa Adat Moni dan masyarakat adat Ko’anara sebagai penghuni pertama tanah leluhur ini. Mereka adalah keturunan suku bangsa Lio yang banyak tersebar di Kabupaten Ende. Orang Ko’anara mendiami desa-desa di pucuk gunung seperti Mboti dan Pemo, di sepanjang jalan raya seperti Moni, Wolowaru, hingga ke pedalaman yang jauh di Potu, Woloara, Jopu, Wolojita, dan Nggela. Ada pula yang tinggal di kota, bahkan di luar pulau. Keterikatan pada tanah leluhur membuat mereka selalu kembali tatkala digelar upacara adat. Tentu saja sambil membawa upeti seperti babi, kerbau, dan kuda, yang melambangkan kesetiaan sekaligus keberhasilan mereka hidup di rantau. Konon, orang Ko’anara adalah keturunan jin dalam bahasa Lio disebut 'Ine leke', karena nenek moyangnya menikah dengan putri dari bangsa jin (ine leke). Mereka kemudian disebut 'ine ema' (ibu bapak), atau embu mamo (nenek moyang) dan menurunkan orang-orang Moni. Itu sebabnya penduduk Kelimutu percaya memiliki kekuatan spiritual yang besar, sehingga berbagai upacara adat yang digelar penuh dengan nilai magis.

Embu Mamo (nenek moyang) tinggal di sa'o ria, rumah adat yang terbuat dari kayu. Kini situs rumah adat ini masih bisa kita saksikan di Desa Moni, yang menjadi pusat kebudayaan Ko’anara. Di sa'o ria (rumah adat) tinggal beberapa keluarga tetua adat (mosalaki). Para tetua adat pun sering berkumpul di sini. Namun mereka juga kerap menggunakan (h)keda (h)kanga (halaman rumah adat) yang berada di depan rumah adat, untuk bermusyawarah. Misalnya, saat akan menggelar upacara adat. Makam leluhur orang Ko’anara juga terdapat di kompleks situs. Jalan menuju makam berupa batu-batuan yang ditata mirip anak tangga, dan melambangkan tingkatan masyarakat Ko’anara di masa lalu. Batu pertama melambangkan pintu gerbang pertama. Sebagai penghormatan terhadap arwah leluhur, pengunjung biasanya meletakkan sesaji berupa rokok di sini. Batu terakhir merupakan jalan menuju pimpinan tertinggi Ko’anara, sang leluhur. Kini, keturunannya menghuni kuburan umum jika meninggal. Namun beberapa keluarga tetua adat (mosalaki) masih ada yang mengawetkan tulang-belulang kepala keluarganya jika meninggal. Tulang belulang ini disimpan di sebuah peti yang tertutup, lalu diletakkan di rumah kecil (bhaku) yang dibuat khusus untuk menyimpan tulang belulang nenek moyang yang sudah meninggal, bersama barang-barang berharga seperti gading gajah, emas, perhiasan, atau pakaian. Namun raibnya beberapa barang berharga dan sepasang tulang lelaki-perempuan berumur ratusan tahun, membuat kebiasaan ini mulai ditinggalkan.

Tarian ritual minta hujan..
Mayoritas orang Ko’anara hidup dari bertani. Tanah di kaki gunung Kelimutu amat subur. Tak hanya menumbuhkan padi, ubi, dan jagung, tapi juga coklat, cengkeh, moke dan lain - lain. Sayangnya hal ini tak mampu mengangkat ekonomi penduduk setempat. Kemiskinan merajalela akibat angka kelahiran yang tak terkendali dan lain sebagainya. Kucuran dana bantuan dari swasta dan pemerintah kerap disunat aparat pemerintahan setempat. Air sebagai sumber kehidupan yang melimpah pun sulit didapat, karena pengelolaannya tak efisien. Maka, hujan menjadi satu-satunya harapan mereka. Meskipun puluhan ribu turis datang setiap tahun terhipnotis oleh keindahan Gunung Kelimutu, namun berkah pariwisata ini hanya bisa dinikmati pemilik losmen, restoran, dan pemodal saja. Mayoritas penduduk cuma menjadi penonton sambil sesekali menawarkan kopi atau teh panas. Mungkin itu yang membuat mereka begitu antusias setiap kali digelar upacara adat. Mereka berharap arwah nenek moyang akan membantu mereka. Mayoritas pemeluk agama Katolik ini memang memiliki ikatan yang kuat dengan arwah leluhur. Salah satu upacara adat yang penting adalah upacara memohon hujan (po'o are/po'o bhoro). Tatkala kemarau amat panjang, bencana kelaparan pun siap mengancam. Lumbung padi desa tak selalu bisa diharapkan. Maka para tetua adat segera berkumpul di rumah adat (sao' ria) untuk menentukan waktu upacara. Bambu berisi beras dan dilumuri darah babi segera dibakar di dalam tungku. Jika bambu meledak dan meninggalkan serpihan yang rapi, maka upacara segera digelar. Jika tidak, pembakaran bambu akan diulang lagi. Ketika upacara dimulai, kepala adat akan mengisi saga, tugu persembahan dengan sesaji berupa bunga tembakau, dan dupa. Begitu dupa terbakar, kepala adat membaca mantra diikuti oleh pemukulan 'dhou dha', alat musik dari kayu. Lalu para gadis segera menari, menantang teriknya mentari di siang bolong. Tarian berhenti ketika hujan mulai turun. Konon, tarian hujan inilah yang membuat tanah Kelimutu tetap subur, dan para arwah kerasan bersemayam di tiga danaunya, karena airnya tak pernah kering.

Comments

Post a Comment